Islam hadir di bumi dengan membawa penekanan pada prinsip
tauhid sebagai pegangan utama hidup. Ia menjadi tonggak dari keseluruhan sikap
manusia, khususnya umat Islam, dalam menjalani tidak hanya ibadah tapi juga
muamalah (hubungan sosial). Tentang muamalah, tauhid mengajarkan pengesaan
mutlak kepada Allah dan pengakuan bahwa hanya Allah yang mahaagung dan
mahasempurna. Dari sini kita temukan kaitan yang sangat dekat antara prinsip
ketuhanan dan kemanusiaan. Sebab, tauhid secara tidak langsung meniscayakan adanya
kesetaraan bagi manusia karena derajat dan kelas paling tinggi hanya milik
Allah. Pembedaan derajat dan kelas pada tataran manusia bersifat semu di
hadapan Allah subhanahu wata’ala.
Karena itu, tidak ada satu pun yang berhak mengklaim diri
memiliki derajat lebih mulia hanya karena berasal dari ras atau asal-usul
primordial tertentu. Klaim semacam itu pernah dilakukan iblis pada awal
penciptaan manusia, dan akhirnya iblis terhempas dari surga dan menjadi makhluk
terkutuk selama-lamanya. Mula-mula Allah perintahkan para malaikat, termasuk
iblis, untuk bersujud kepada Nabi Adam sebagai tanda hormat. Perintah
penghormatan itu ditaati seluruh malaikat, tapi iblis dengan penuh kesombongan
membangkang dari perintah tersebut.
“Allah berfirman, ‘Apakah yang menghalangimu bersujud
(kepada Adam) ketika Kuperintahkan kepadaMu?’ Iblis menjawab, ‘Kami lebih baik
daripada dia: Engkau ciptakan aku dari api, sedang dia Kauciptakan dari
tanah’.” (QS al-A’raf: 12)
Manusia dan kemanusiaan
menjadi perhatian yang
serius dalam Islam.
Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pertama
kali mensyiarkan agama ini, kondisi
negeri Arab sedang dirundung kebejatan moral dan pelecehan nilai-nilai
kemanusiaan yang parah. Perang dan pertumpahan darah lantaran fanatisme
antarsuku terjadi di mana-mana. Kaum perempuan dinjak-injak martabatnya—bahkan
berkembang perilaku mengubur hidup-hidup bayi perempuan karena dianggap tak
berguna dan memalukan keluarga. Perjudian dan eksploitasi ekonomi terhadap kaum
miskin melalui riba marak.
Dengan demikian betapa berat misi Nabi kala itu. Beliau
tidak hanya hendak membersihkan paganisme atau penyembahan terhadap berhala,
tapi juga menata moral masyarakat Arab yang dilanda kelangkaan rasa kemanusiaan
yang akut. Tentang misi ini, Rasulullah pernah mendeklarasikan diri bahwa
beliau diutus oleh Allah untuk menyempurnakan akhlak.
Perhatian Islam terhadap manusia dan kemanusiaan ini
eksplisit dalam Islam. Al-Qur’an Surat al-Isra’ ayat 70 menyebut, “walaqad
karramnâ banî âdam (dan telah Kami muliakan anak cucu Adam/manusia). Ayat
menggunakan redaksi karramnâ (Kami [Allah] mulaikan) yang berarti bahwa manusia
mulia bukan saja karena ada manusia lain yang memuliakan tapi memang Allahlah
yang memuliakannya.
Pesan kemanusiaan lain juga sangat jelas disampaikan
Rasulullah dalam haji wada’ pada tahun ke-10 hijriah. Saat itu Rasulullah
seperti memberi isyarat melalui pidato tentang tanda-tanda bahwa beliau akan
meninggalkan dunia ini. Para sahabat yang peka akan tanda-tanda itu tak kuasa
membendung tangis dan haji wada’ itu pun diwarnai banjir air mata dan kesan
yang mendalam. Di tengah suasana haru biru tersebut, sebuah pesan substansial
keluar dari lisan Rasulullah:
"Wahai manusia, ingatlah, sesungguhnya Tuhanmu
adalah satu, dan nenek moyangmu juga satu. Tidak ada kelebihan bangsa Arab
terhadap bangsa lain. Tidak ada kelebihan bangsa lain terhadap bangsa Arab.
Tidak ada kelebihan orang yang berkulit merah terhadap orang yang berkulit hitam. Tidak ada kelebihan orang yang
berkulit hitam terhadap yang berkulit merah. Kecuali dengan taqwanya.."
(HR. Ahmad, al-Baihaqi, dan al-Haitsami).
Pidato Rasulullah tersebut pengandung pesan yang mendalam
atas nilai-nilai kemanusiaan. Beliau memulainya dengan seruan “yâ ayyuhan nâs”
(wahai manusia). Rasulullah tentu tahu bahwa pada momen haji wada’
mayoritas—bahkan mungkin semuanya—yang ada di hadapan beliau adalah orang
mukmin. Tapi Nabi tidak menggunakan redaksi “yâ ayyuhal ladzîna âmanû” (wahai
orang-orang beriman). Hal ini menandakan bahwa substansi ajaran yang beliau
pidatokan bersifat universal, berlaku untuk seluruh manusia. Pidato tersebut
keluar lebih dari 10 abad sebelum deklarasi Hak Asasi Mansia (HAM) oleh PBB
pada 1948.
Hadits Nabi tersebut menegaskan kembali tentang prinsip
tauhid, juga tentang muasal bapak yang
satu (yakni Nabi Adam), baru disusul peringatan tentang prinsip kesetaraan
manusia. Lagi- lagi ini meneguhkan logika yang di awal tadi disampaikan bahwa
berangkat dari tauhid, pengakuan terhadap kesetaraan manusia muncul. Manusia
bersumber dari satu leluhur yang dimuliakan Allah sehingga tidak boleh seorang
pun membuat klaim keistimewaan bangsanya, rasnya, bentuk fisiknya, asal daerahnya,
dibandingkan orang lain. Soal derajat kemuliaan, Islam memberi kriteria khusus,
yaitu takwa. Artinya, segenap prestise manusia diukur oleh dan dikembalikan
kepada Allah subhanahu wata’ala.
Hal ini juga
senada dengan seruan lain dalam Al-Qur’an:
م
"Wahai manusia sesungguhnya Kami menciptakan kamu
sekalian dari seorang pria dan seorang wanita dan kami menjadikan kamu berbagai
bangsa dan suku, agar kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang
paling mulia diantaramu di sisi Allah ialah orang yang saling bertaqwa".
(Q.S. al-Hujarat:13).
Pesan lainnya dalam haji wada’ yang tak kalah pentingnya
adalah imbauan Rasulullah untuk membuktikan diri sebagai mukmin dan muslim yang
baik dengan menjamin hak-hak hidup dan ekonomi orang lain, dan tentu saja dengan
senantiasai meningkatkan ketaatan dan manjauhi larangan-larangan Allah.
Imam
Ahmad menriwayatkan hadits yang berbunyi:
Artinya: “Nabi SAW bersabda saat haji wada’, ‘Maukah
kalian kuberitahu pengertian mukmin? Mukmin adalah orang yang memastikan
dirinya memberi rasa aman untuk jiwa dan harta orang lain. Sementara muslim
ialah orang yang memastikan ucapan dan tindakannya tidak menyakiti orang lain.
Sedangkan mujahid adalah orang yang bersungguh-sungguh dalam keta’atan kepada
Allah SWT. Sedangkan orang yang berhijrah (muhajir) ialah orang yang meninggalkan kesalahan dan dosa.”
Semoga kita tetap menjadi manusia yang berbudi luhur,
manusia yang menghormati kemanusiaan dirinya dan orang lain, dan manusia yang
berserah diri kepada Allah. Semoga Allah
selalu membimbing kita semua untuk tetap dalam jalan keridhaan-Nya.
Posting Komentar