Satu tujuan utama dari penciptaan manusia adalah untuk beribadah kepada Allah Ta’ala. Dalam firmannya, Allah menyampaikan, “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” (QS. 51: 56).
Ibn Katsir dalam tafsirnya menjelaskan bahwa, “Aku ciptakan mereka itu dengan tujuan untuk
menyuruh mereka beribadah kepada-Ku, bukan karena Aku membutuhkan mereka.
Mengenai lafadz Illa Liya’budun Ali bin Abi Thalhah meriwayatkan dari Ibn Abbas, “Artinya,
melainkan supaya mereka mau tunduk beribadah kepada-Ku, baik secara suka rela maupun
terpaksa.” Sedangkan menurut Ibn Juraij lafadz tersebut mengandung maksud, “Yakni supaya
mereka mengenal-Ku.”
Selaras dengan tuntunan agama sebagaimana termaktub dalam ayat tersebut di atas tujuan
pendidikan agama Islam di Indonesia adalah melahirkan generasi penerus bangsa yang saleh
dan taat menjalankan ajaran agama, Pendidikan Islam juga harus mampu menjadi instrument
perekat, baik secara budaya, sosial maupun yang lainnya. Untuk itu, ketika belajar agama,
peserta didik tidak hanya an sich belajar ilmu agama, tapi juga ditanamkan tentang nilai dan
sikap untuk saling menghormati antar sesama, meski beda agama. Mereka, diajari nilai untuk
tidak saling membenci dan mengkucilkan antar umat beragama, namun bagaimana bisa tetap
hidup berdampingan. Indonesia merupakan negara yang plural dan majemuk. Di sini, seorang
anak muslim diajarkan corak Islam yang moderat, damai dan sesuai dengan alam demokrasi dan
alam Indonesia yang sejak dahulu yang menjunjung tinggi toleransia.
Sebagai bangsa yang plural, bahwa Indonesia mempunyai potensi konflik yang tinggi. Dalam
konteks ini, kontribusi pendidikan Islam dan lembaga Pendidikan Islam dalam menjaga
kerukunan umat beragama sangat besar. Kontribusi Ini sangat besar dan nyata dalam meredam
konflik, dan mampu membawa Indonesia menuju ke arah yang lebih baik.
Kita sekarang sedang hidup di zaman yang serba diliputi fitnah dalam segala aspek. Fitnah yang
dimaksud di sini adalah ujian-ujian yang tidak tingan. Manusia satu melukai manusia yang lain.
Sesama manusia saling mencederai. Sesama muslim, menyakiti. Menyakiti tidak terbatas pada
luka tubuh yang lahir, namun luka hati. Banyak orang yang mengoyak ketenteraman
saudaranya.
Jauh-jauh hari, empat belas abad silam, Rasulullah SAW mengingatkan tentang singgungan
ketentraman kehidupan bersama sebagai berikut: "Pemeluk agama Islam adalah orang yang orang-orang muslim lainnya menjadi selamat dari
(perbuatan buruk) lisan dan tangannya. Sedangkan orang berhijrah adalah orang yang
meninggalkan segala larangan Allah.
Ada pula hadits shahih yang diriwayatkan oleh Anas ibn Malik dari Rasulullah SAW bersabda “Orang yang beriman adalah orang di mana manusia lain merasa aman darinya.”
Dari kedua hadits di atas, setidaknya kita dapat mengambil pemahaman, bahwa baik antara
definisi orang muslim maupun mukmin mempunyai dasar aspek yang sama. Selain mereka harus
memenuhi kewajiban menjaga hubungan vertikal (hablun min Allah), juga harus menjaga baik
hubungan horizontal (hablun min annas) dengan sebaik mungkin.
Artinya, sebaik apa pun dia melakukan ibadah mahdlah, namun jika dia selalu merugikan orang
lain, mengecewakan sesama, menyakiti oran-orang di sekitarnya, maka iman Islamnya orang itu
belum sempurna. Sehebat apa pun orang beribadah, jika ia merugikan orang, berarti ia termasuk
orang yang rugi.
Ada sebuah hadits yang diriwayatkan dalam shahih muslim. Suatu ketika Rasulullah SAW
bertanya kepada para sahabat: "Tahukah kalian, siapa orang yang merugi itu?" Tanya Nabi.
Para sahabat lalu menjawab: “Orang yang merugi di antara kita adalah orang yang tak mempunyai dirham (uang) dan tidak mempunyai harta benda.”
Mendengar jawaban demikian, Rasulullah kemudian menjelaskan: “Sesungguhnya orang yang merugi adalah dari umatku adalah orang yang datang besok pada hari kiamat, sedang ia membawa pahala shalat, pahala puasa, pahala zakat.“Namun ia juga datang dengan amalan mencaci ini, menuduh ini, makan hartanya orang ini, mengalirkan darahnya orang ini, memukul orang ini.”
“Nah, kemudian pahala kebaikan orang yang ini pun akan diberikan kepada orang yang ini, orang yang ini pahalanya diberikan kepada orang ini.”
“Apabila pahalanya yang dibuat menebus sudah habis, dosa dari orang yang dizalimi akan diberikan kepada orang ini. Lalu, dimasukkanlah ia ke dalam api neraka.”
Hadits di atas jelas menjelaskan bahwa kita tidak boleh sembrono dalam hubungan kepada siapa saja. Jangan-jangan ibadah malam kita, puasa kita, sedekah kita ataupun apa pun amal yang sudah capai kila jalankan, susah payah kita kumpulkan di dunia, akhirnya kita tidak dapat mengunduhnya di akhirat kelak. Hanya gara-gara habis dibuat menebus kesalahan-kesalahan kepada saudara kita. Na'udzu billah min dzalik.
Rasulullah memberikan istilah orang yang mempunyai model seperti di atas dengan sebutan orang yang merugi. Maksud rugi, karena dia menanam, namun tidak mengunduh. Selain dalam hadits, pada Al-Qur'an juga banyak dijelaskan tentang bagaimana kita perlu menjaga harmoni dengan baik serta harus kita rawat sejak dari alam pikiran kita, hingga aksi dunia nyata. Selain dalam hadits, pada Al-Qur'an juga banyak dijelaskan tentang bagaimana kita perlu menjaga harmoni dengan baik serta harus kita rawat sejak dari alam pikiran kita, hingga aksi dunia nyata.
Menjaga kebaikan dari alam pikiran ini tampak dari ayat firman Allah SWT
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” (QS al-Hujarat: 12) Ayat lain menyebutkan:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima).” (QS. Al Baqarah: 264) Serta masih banyak keterangan lain yang menyatakan di mana kita dilarang menyakiti atau merampas hak orang lain dengan tanpa jalan yang dibenarkan oleh syariat Islam. Hal ini cukup berbahaya bagi keberlangsungan kita di hari kiamat kelak.
Dalam era media sosial seperti sekarang ini, orang sangat mudah mengumpat, mencaci, mencibir, melontarkan kalimat sampah serapah dengan tanpa tatap muka secara langsung atau bahkan kepada orang yang belum dan tidak akan pernah bertemu sama sekali di dunia ini. Tapi kita perlu waspada dan hati-hati, jangan-jangan orang yang dulunya kita hina di medsos, di akhirat, ia menjadi ganjalan yang menghalangi kita masuk surga, naudzu billah min dzalik.
Mari kita mawas diri, instrospeksi diri kita masing-masing. Sejak dalam pikiran, kita jangan berburuk sangka, dalam mulut jangan berkata yang menyakiti orang lain, tangan, mata, kaki dan anggota kita, mari kita berusaha menjaganya dari menyakiti sesama supaya kita hidup bermasyarakat yang baik dalam bingkai harmoni yang terawat. Mari kita ingat, bagaimanapun mereka adalah saudara kita yang perlu kita jaga bersama supaya kita kuat dan tidak mudah roboh.
Sesungguhnya orang-orang yang beriman merupakan saudara. Perbaikilah kalian antara saudara kalian. Dan bertakwalah supaya kalian dibelaskasihani.
Kesimpulan yang dapat kita ambil pada kesempatan kali ini adalah pertama, kita, selain dituntut untuk berhubungan baik kepada Allah, kita juga harus memperbaiki hubungan antarsesama. Kedua, orang ahli ibadah, jika selalu merugikan orang lain, baik merugikan melalui lisan atau tindakan, mulai dari mencaci, mencuri, dan lain sebagainya, jika di dunia ini tidak diselesaikan, pada hari kiamat kelak, ia akan dimintai perhitungan oleh Allah SWT. Jangan-jangan itu bisa menjadikan rugi dari tanaman amal baik kita selama di dunia.
Para sahabat lalu menjawab: “Orang yang merugi di antara kita adalah orang yang tak mempunyai dirham (uang) dan tidak mempunyai harta benda.”
Mendengar jawaban demikian, Rasulullah kemudian menjelaskan: “Sesungguhnya orang yang merugi adalah dari umatku adalah orang yang datang besok pada hari kiamat, sedang ia membawa pahala shalat, pahala puasa, pahala zakat.“Namun ia juga datang dengan amalan mencaci ini, menuduh ini, makan hartanya orang ini, mengalirkan darahnya orang ini, memukul orang ini.”
“Nah, kemudian pahala kebaikan orang yang ini pun akan diberikan kepada orang yang ini, orang yang ini pahalanya diberikan kepada orang ini.”
“Apabila pahalanya yang dibuat menebus sudah habis, dosa dari orang yang dizalimi akan diberikan kepada orang ini. Lalu, dimasukkanlah ia ke dalam api neraka.”
Hadits di atas jelas menjelaskan bahwa kita tidak boleh sembrono dalam hubungan kepada siapa saja. Jangan-jangan ibadah malam kita, puasa kita, sedekah kita ataupun apa pun amal yang sudah capai kila jalankan, susah payah kita kumpulkan di dunia, akhirnya kita tidak dapat mengunduhnya di akhirat kelak. Hanya gara-gara habis dibuat menebus kesalahan-kesalahan kepada saudara kita. Na'udzu billah min dzalik.
Rasulullah memberikan istilah orang yang mempunyai model seperti di atas dengan sebutan orang yang merugi. Maksud rugi, karena dia menanam, namun tidak mengunduh. Selain dalam hadits, pada Al-Qur'an juga banyak dijelaskan tentang bagaimana kita perlu menjaga harmoni dengan baik serta harus kita rawat sejak dari alam pikiran kita, hingga aksi dunia nyata. Selain dalam hadits, pada Al-Qur'an juga banyak dijelaskan tentang bagaimana kita perlu menjaga harmoni dengan baik serta harus kita rawat sejak dari alam pikiran kita, hingga aksi dunia nyata.
Menjaga kebaikan dari alam pikiran ini tampak dari ayat firman Allah SWT
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” (QS al-Hujarat: 12) Ayat lain menyebutkan:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima).” (QS. Al Baqarah: 264) Serta masih banyak keterangan lain yang menyatakan di mana kita dilarang menyakiti atau merampas hak orang lain dengan tanpa jalan yang dibenarkan oleh syariat Islam. Hal ini cukup berbahaya bagi keberlangsungan kita di hari kiamat kelak.
Dalam era media sosial seperti sekarang ini, orang sangat mudah mengumpat, mencaci, mencibir, melontarkan kalimat sampah serapah dengan tanpa tatap muka secara langsung atau bahkan kepada orang yang belum dan tidak akan pernah bertemu sama sekali di dunia ini. Tapi kita perlu waspada dan hati-hati, jangan-jangan orang yang dulunya kita hina di medsos, di akhirat, ia menjadi ganjalan yang menghalangi kita masuk surga, naudzu billah min dzalik.
Mari kita mawas diri, instrospeksi diri kita masing-masing. Sejak dalam pikiran, kita jangan berburuk sangka, dalam mulut jangan berkata yang menyakiti orang lain, tangan, mata, kaki dan anggota kita, mari kita berusaha menjaganya dari menyakiti sesama supaya kita hidup bermasyarakat yang baik dalam bingkai harmoni yang terawat. Mari kita ingat, bagaimanapun mereka adalah saudara kita yang perlu kita jaga bersama supaya kita kuat dan tidak mudah roboh.
Sesungguhnya orang-orang yang beriman merupakan saudara. Perbaikilah kalian antara saudara kalian. Dan bertakwalah supaya kalian dibelaskasihani.
Kesimpulan yang dapat kita ambil pada kesempatan kali ini adalah pertama, kita, selain dituntut untuk berhubungan baik kepada Allah, kita juga harus memperbaiki hubungan antarsesama. Kedua, orang ahli ibadah, jika selalu merugikan orang lain, baik merugikan melalui lisan atau tindakan, mulai dari mencaci, mencuri, dan lain sebagainya, jika di dunia ini tidak diselesaikan, pada hari kiamat kelak, ia akan dimintai perhitungan oleh Allah SWT. Jangan-jangan itu bisa menjadikan rugi dari tanaman amal baik kita selama di dunia.
Posting Komentar