JUDUL MAKALAH
Upaya Memasyarakatkan Bahtsul Masa’il di Era Modern
Oleh : Miftahul Alim
Alamat : Jl. Brigjen Katamso, RT 44, Kel.
Belimbing, Bontang, Kalimantan Timur
Alumni : Pondok Pesantren Ma’had Mamba’ul
Hikam, Jati-Rejo, Diwek-Jombang.
Alamat
email : miftahulalimsaulin6@gmail.com
No.Hp : 0815151985872
ABSTRAK
Bahtsul Masa’ail adalah sebuah tradisi ilmiah yang kental konotasinya dengan kaum
santri. Penyelenggaraan bahtsul masa’il biasanya dilakukan ketika ada
sebuah masalah yang menyebabkan problematika ditengah kehidupan masyarakat. Dan
hal ini belum diketahui hukumnya secara pasti. Baik itu nash yang ada
dalam Al-Qur'an maupun dalam Al-Hadits. Ditengah bahtsul masa’ail inilah
akan dicari hukum atau solusi untuk memecahkan masalah tersebut.
Sebagai sebuah tradisi ilmiah, bahtsul masa’il adalah
tradisi yang penting dan harus dilestarikan. Dengan adanya wadah seperti ini
dapat dijadikan sebagai tempat up date ilmu pengetahuan dan sebagai
media untuk mengembangkan budaya tela’ah kitab-kitab klasik yang kini
keberadaannya hampir menjadi barang langka diluar lingkungan pesantren.
Memperkenalkan khazanah pesantren yang sangat kaya dan kompleks kepada
masyarakat secara umum adalah tugas bersama kaum santri. Melalui tradisi bahtsul
masa’il perlu dibangun sebuah pintu penghubung. Bagaimana caranya agar
masyarakat pesantren dapat melalukan pengenalan sedikit demi sedikit budaya
yang ada dalam pesantren kepada masyarakat diluar pesantren.
Upaya mengenalkan tradisi bahtsul masa’il kepada masyarakat
secara luas juga dapat dijadikan sebagai bentuk pemikat kepada masyarakat, agar
animo masyarakat semakin tinggi untuk memilih lembaga pendidikan pesantren sebagai
lembaga pendidikan yang cocok bagi putera-puteri mereka. karena secara tidak
langsung para civitas bahtsul masa’il adalah gambaran out put
yang dihasilkan dari produk pendidikan dari pondok pesantren.
Kata Kunci : Masyarakat dan Tradisi Bahtsul Masa’il
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Dalam menjalani roda kehidupan, setiap manusia akan selalu
menemukan berbagai macam permasalahan. Baik itu masalah yang pernah terjadi dan
sudah memiliki solusi, masalah yang sudah pernah ada namun belum memiliki
solusi, atau masalah baru yang harus segera dicarikan duduk solusinya. Terlebih
hal-hal yang berkaitan dalam wilayah diniyah (keagamaan). Walaupun
sebenarnya segala permasalahan yang terjadi selalu ada benang penghubung untuk
dikaitkan dengan masalah agama, namun yang dimaksud disini adalah sesuatu yang
bersifat spesifik. Yang cenderung memiliki konsekuensi hukum : makruh, mubah,
halal, haram atau sunnah (anjuran).
Munculnya sebuah tradisi ilmiah yang khas dimiliki oleh kalangan
warga Nahdlatul Ulama Yang kini dikenal dengan istilah bahtsul masa’il, Nampaknya
memberikan harapan baru kepada masyarakat. Karena dalam tradisi ini, sebuah
masalah yang berpolemik ditengah kehidupan masyarakat dan belum diketahui
hukum/solusinya, akan diproses sedemikian rupa dalam forum diskusi. Dengan
tujuan agar masalah yang ada segera mendapatkan jalan keluar, atau paling tidak
ada sebuah landasan hukum dalam menyikapi masalah tersebut. Sehingga masyarakat
tidak lagi dibingungkan dengan masalah yang sedang mereka hadapi.
Adanya tradisi bahtsul masa’il juga sebagai upaya pengajaran
secara tidak langsung kepada masyarakat bahwa dalam beragama, madzhab adalah
hal penting yang tidak dapat dikesampingkan. Ini terbukti bahwa produk-produk
hukum yang dihasilakan dalam bahtsul masa’il tidak bisa lepas dari
ijtihad imam madzhab. Seperti : Imam Maliki, Syafi’i, Hanafi, maupun Hambali. Secara
umum masyarakat Indonesia, terutama warga nahdliyiin memang memiliki
kecenderungan kepada madzhab Imam Safi’i. Tetapi dalam bahtsul masa’il
tidak ada madzhab yang mendominasi. Semua memiliki value secara proporsional.
Disisi lain, tidak dapat dielakkan bahwa selama ini tradisi bahtsul
masa’il kental hubungannya dengan pondok pesantren dan masih berkutat dalam
internal pesantren. bagi kalangan akademisi kaum santri, tidak juga harus
menutup mata bahwa memang masih banyak
masyarakat awam yang merasa asing dengan istilah bahtsul masa’il. Apa
lagi dilingkungan perkotaan dengan masyarakatnya yang memiliki multi-kultur dan
karakter (masyarakat heterogen).
Selama ini yang memahami dan mengambil manfaat dari buah bahtsul
masa’il masih relatif terbatas. Yaitu masyarakat dengan kategori tertentu. Mereka
adalah masyarakat yang ada disekitar lingkup pesantren atau masyarakat yang
memang memiliki basic pengetahuan pondok pesantren. Sedangkan masyarakat yang
diluar pondok pesantren atau yang sama sekali tidak memiliki basic pendidikan
pondok pesantren, mereka tidak dapat merasakan manfaat secara signifikan dari bahtsul
masa’il tersebut. Kalaupun ada masyarakat diluar lingkungan pesantren yang
dapat mengambil manfaat dari forum ilmiah ini,. mereka hanya akan mendapatkan
manfaat berupa produk (hukum yang sudah jadi) dari bahtsul masa’il
tersebut. Tanpa mengetahui proses bagaimana sebuah hukum bisa ditetapkan atau
dilahirkan.
Dari sini kemudian muncul sebuah pemikiran bahwa para civitas bahtsul
masa’il sudah saatnya melakukan
sebuah inovasi baru dari hal-hal mainstream yang sudah berjalan selama
ini, yaitu melibatkan masyarakat secara luas agar mereka dapat terlibat
langsung dalam aktifitas forum bahtsul masa’il yang kerap diadakan oleh
kaum intelektual santri Nahdlatul Ulama.
1.2
Ruang Lingkup
Masalah pokok yang akan dituangkan dalam tulisan ini adalah
bagaimana upaya mengenalkan dan mengajak masyarakat secara luas dapat terlibat
dalam aktifitas bahtsul masa’il, apakah manfaat jika melibatkan
masyarakat dalam aktifitas bahtusl masa’il?, dan apa saja kendala yang
akan ditemukan jika melibatkan masyarakat
secara langsung dalam forum bahtsul masa’il?.
Melalui tulisan ini penulis berusaha memetakan apa saja yang dapat
dilakukan oleh civitas bahtsul masa’il dalam mengimplementasikan hal-hal
tersebut diatas, serta berusaha memberikan tawaran solusi dari masalah-masalah
yang sekiranya akan dihadapi.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Upaya Memasyarakatkan Bahtsul Masa’il
Melihat pesatnya perkembangan zaman belakangan ini, nampaknya upaya
mengenalkan tradisi forum bahtsul masa’il kepada masyarakat secara luas
menjadi sesuatu yang substansial. Disamping sebagai kiat dalam melestarikan turast
ilmiah pondok pesantren, juga sebagai media dakwah kepada masyarakat.
Adapun beberapa kiat yang dapat dilakukan agar masyarakat dapat
terlibat langsung dalam aktifitas bahtsul masa’il adalah sebagai berikut
:
1.
Memanfaatkan Masjid Sebagai Central Kegiatan Bahtsul Masa’il
Masjid yang dijadikan sebagai central peribadatan memiliki peran
penting dalam kehidupan bermasyarakat. Yang perlu kita pahami bersama adalah,
seharusnya masjid bukan hanya sebagai tempat peribadatan saja. Pada zaman
Rasulullah, masjid juga digunakan sebagai tempat pengajaran ilmu-ilmu agama.
Ini menjadi bukti bahwa masjid tidak melulu dijadikan tempat seremoni
peribadatan saja. Tetapi masjid juga memiliki peran dalam kemajuan peradaban
dan hal-hal positif lainnya. Dengan catatan, penggunaannya tidak sampai melebihi
yang diperbolehkan oleh syariat.
Masjid memiliki peranan primer, oleh karena itu pekerjaan pertama
yang dilakukan oleh Rasulullah setelah hijrah ke Yastrib (Madinah) adalah
membangun masjid,[1] bukan
yang lain. Karena berangkat dari masjid inilah umat Islam dapat bersatu
(minimal dalam sholat berjamaah).
Dari masjid kita umat Islam memiliki potensi yang cukup besar untuk
membuat masyarakat menjadi bergairah serta maju. Namun banyak orang yang tidak
memanfaatkan peluang ini dan menggalinya lebih dalam.
Memanfaatkan
masjid sebagai tempat bahtsul masa’il adalah salah satu upaya agar
masyarakat yang ada di sekitar masjid bisa terlibat dalam forum. Dengan
demikian peserta yang akan berpartisipasi dalam aktifitas bahtsul masa’il
akan semakin banyak. Tentu saja hal ini harus melalui proses penting lain yang
tidak bisa dikesampingkan, yaitu proses administrasi kepada pihak pengurus
masjid yang akan dijadikan tempat bahtsul masa’il. Seperti membuat surat
perizinan, surat undangan yang ditujukan kepada jama’ah masjid, kepada
masyarakat, dan beberapa hal lain yang sekiranya diperlukan.
Tempat pelaksanaan
bahtsul masa’il dapat bergantian dari masjid satu ke masjid yang lain.
Hal ini harus diimbangi dengan keaktifan para civitas bahtsul masa’il
untuk terus bergerak mensosialisasikan agenda bahtsul masa’il kepada
masyarakat dan masjid-masjid yang ada sesuai dengan kebutuhan pelaksanaan.
2.
Menjaring Minat Masyarakat Melalui Media Sosial
Media sosial banyak memberikan manfaat bagi hajat hidup manusia,
namun juga tak bisa dipungkiri media sosial juga mengandung sisi negatif.
Sebagaimana yang akhir-akhir ini terjadi. Maraknya berita-berita hoax
(bohong) yang beredar di media sosial, ujaran kebencian, hasut, fitnah,
penipuan, dan lain sebagainya. Sebenarnya, media sosial tak lebih hanya sebuah
alat komunikasi dengan kedudukannya yang netral (tidak berpihak). Sebagaimana pisau,
positif atau tidaknya tergantung bagaimana cara dalam memanfaatkan alat
tersebut.
Melalui media ini kita dapat menyebarkan informasi yang berkaitan dengan
aktifitas bahtsul masa’il. Seperti menyebarkan undangan, format undangan
juga sebisa mungkin di kemas dengan kata-kata yang menarik. Bisa berisi : rumusan
masalah yang akan dibahas, tempat pelaksanaan bahtsul masa’il, waktu pelaksanaannya,
dan hal lain yang sekiranya dibutuhkan. Disamping sebagai bahan informasi, cara
ini juga mempunyai tujuan agar masyarakat secara luas memiliki antusiasme turut
serta dalam aktifitas bahtsul masa’il. Media yang digunakan dapat
bervariasi seperti Facebook, Instagram, Whatsapp grup, BBM, dan media sosial lainnya.
Penyebaran undangan tak cukup disebarkan sekali saja. Upaya yang
demikian harus dilakukan berulang kali secara masif. Dengan intensnya informasi
tentang agenda bahtsul masa’il yang akan dilaksanakan, diharapkan dapat
menjadi daya tarik tersendiri kepada masarakat, dengan hasil akhir banyak
masyarakat turut berperan aktif dalam mensukseskan acara bahtsul masa’il
tersebut.
Setidaknya, kehadiran masyarakat secara luas dapat menjadi penyemarak
kegiatan atau sebagai pendengar. Jika ternyata ada sebagaian masyarakat yang
mampu terlibat aktif dalam perhelatan menentukan sebuah hukum dalam bahtsul
masa’il, ini menjadi sesuatu yang luar biasa. Melalui forum ini akan
didapatkan sebuah simpulan baru ternyata dikalangan masyarakat ada orang yang
memiliki potensi namun tidak tersalurkan. Sehingga forum bahtsul masa’il
dapat menjadi wadah penyaring bagi mereka yang sebenarnya memiliki kemampuan
tetapi belum mendapatkan wadah penyalur.
3.
Melibatkan Tokoh Masyarakat dalam Jajaran Kepengurusan LBM (Lembaga
Bahtsul Masa’il)
Terkadang kita harus memaksakan agar seseorang menjadi peduli
terhadap sesuatu. Begitu pula dalam hal ini. Dengan memasukkan tokoh masyarakat
yang memiliki pengaruh pada jajaran kepengurusan lembaga bahtsul masa’il
akan memiliki dampak yang signifikan. Karena masyarakat secara luas juga akan
melihat. Ini adalah salah satu upaya sebagai
daya tarik agar masyarakat memiliki minat dan keinginan aktif dalam aktifitas bahtsul
masa’il.
Dalam kepengurusan lembaga bahtsul masa’il tidak harus dari
kalangan kaum santri, sebab ada hal-hal non-teknis sebagai penunjang suksesnya
penyelenggaraan bahtsul masa’il dan hal tersebut dapat diselesaikan oleh
mereka yang tidak memiliki dasar pendidikan pesantren, seperti menyiapkan
sarana pra-sarana, konsumsi, atau hal-hal yang bersifat administratif.
Tiga hal diatas dapat dijadikan sebagai metode atau cara agar
masyarakat dapat terlibat dalam kegiatan-kegiatan bahtsul masa’il yang
dilaksanakan. Baik se-tingkat ranting, cabang, atau sampai pada tataran wilayah
dan pusat.
2.2
Manfaat Melibatkan Masyarakat dalam Aktifitas Bahtsul masa’il
Adapun beberapa
manfaat yang akan didapatkan ketika melibatkan masyarakat dalam aktifitas bahtsul
masa’il adalah sebagai berikut :
1.
Pengenalan Turast Ilmiah Pondok Pesantren Berhaluan Aswaja
Selama ini tradisi bahtsul masa’il masih kental identitasnya
dengan santri. Walaupun hal ini sebenarnya adalah sebuah kewajaran, karena bahtsul
masa’il sendiri terlahir dari rahim pondok pesantren. Namun, ketika ada
sebuah usaha baru yang bertujuan untuk memasyarakatkan bahtsul masa’il
atau mengenalkan tradisi bahtsul masa’il kepada masyarakat secara luas. Maka
hal ini layak untuk dicoba dan diaplikasikan agar masyarakat dapat menilai
bahwa dunia pesantren memiliki sebuah tradisi apik yang tidak ditemukan
pada lingkungan di luar pesantren.
Aspek lain yang juga menjadi tugas bersama adalah, akademisi pondok
pesantren harus mampu melihat bahwa di era sekarang tidak semua lembaga
pendidikan pesantren di Indonesia mengenal tradisi bahtsul masa’il. Belakangan
ini banyak pondok pesantren yang didirikan oleh aliran-aliran Islam
transnasional yang masuk ke Indonesia yang keberadaannya sering membuat resah
mayoritas muslim di negeri ini, terutama warga nahdliyyin.
Diantara aliran Islam transnasional
yang mulai tumbuh dan berkembang di Indonesia adalah : Hizbut Tahrir, dengan
gagasan Pan-Islamismenya, yang memiliki ideologi ingin menegakkan Khilafah
Islamiyah (ala mereka) di seluruh dunia, dan menempatkan Nusantara menjadi
salah satu target mereka. Wahabi, yang berusaha melakukan wahabisasi global.
Ada juga Ikhwanul Muslimin. Awal mula aliran-aliran ini melakukan infiltrasi
paham atau ideologi mereka dengan cara membangun sel pergerakan melalui lembaga-lembaga
dakwah kampus, kemudian menjadi gerakan tarbiyah[2]
dan saat ini sudah berkembang hingga mendirikan pondok pesantren sampai dengan
perguruan tinggi.
Keberadaan pondok pesantren yang tumbuh bak jamur di musim hujan dengan
ketidak-jelasan paham yang ditanamkan adalah hal yang mengkhawatirkan bagi
penganut Islam moderat dengan paham Ahlussunnah Wal Jama’ah. Salah satu
upaya tindakan preventif agar masyarakat tidak terseret arus Islam transnasional
adalah mengenalkan kepada masyarakat secara luas khazanah keilmuan yang ada di
pondok-pondok pesantren yang berhaluan Aswaja. Salah satunya yaitu tradisi bahtsul
masa’il. Karena dalam bahtsul masa’il memiliki metodologi penggalian
sumber hukum yang secara pasti tidak dimiliki oleh aliran-aliran Islam transnasional
tersebut.
2.
Media Dakwah dan Tambahannya Pengetahuan
Melibatkan masyarakat dalam forum bahtsul masa’il juga dapat
menjadi media dakwah bagi santri-santri Ahlussunnah Wal Jama’ah,
khususnya santri-santri NU. Maraknya aktifitas dakwah melalui media massa maupun
media sosial yang menjual berbagai macam paham juga menjadi tantangan
tersendiri bagi kaum intelektual santri. Pasalnya, tidak jarang program-program
dakwah yang tampil di layar televisi atau layar gadget dijadikan sebagai
ajang mencari simpatisan. Tentu saja hal ini juga akan dimanfaatkan sebagai sarana
untuk menyampaikan paham mereka. Beruntung jika paham yang disampaikan adalah
sebagaimana paham Ahlussunnah Wal Jama’ah, namun ketika yang disampaikan
adalah paham-paham aliran Islam transnasional yang kental dengan wahabismenya.
Maka hal ini juga harus di waspadai.
Melalui forum diskusi ilmiah
ini, kaum intelektual santri dapat secara langsung membuktikan bahwa keilmuan
kaum santri juga tidak kalah, atau bahkan memiliki nilai lebih dari pada
keilmuan yang dimiliki oleh ustadz-ustadz yang ada pada beberapa acara televisi
swasta atau yang kerap muncul di dunia maya (youtube, facebook, Instagram,
dll).
Bahkan akan menjadi lebih baik jika dalam forum ini para civitas bahtsul
masa’il mempunyai inisiatif untuk mendokumentasikan setiap kegiatan. Dokumentasi
tersebut dapat berupa teks, video, maupun gambar yang nantinya juga dapat
dimanfaatkan untuk disebar-luaskan melalui media sosial.
Forum bahtsul masa’il pasti juga akan dirasakan manfaatnya oleh
masyarakat yang terlibat. Mereka akan mendapatkan wawasan baru ketika mengikuti
forum ilmiah ini. Sedikit demi sedikit istilah-istilah yang ada dalam bahtsul
masa’il akan mereka pahami, seperti : Al-Kutubul Mu’tabarah
(kitab-kitab tentang ajaran Islam yang sesuai dengan ajaran Alhussunnah Wal
Jama’ah), Ilhaq (menyamakan kasus yang belum di jawab oleh suatu
kitab dengan kasus serupa yang sudah di jawab oleh kitab lain), Istinbath
(mengeluarkan syara’ dari dalilnya dengan qawa’id ushuliyyah dan qawa’id
fiqhiyah), wajah (pendapat ulama’ mazhab)[3],
dan istilah-istilah lainnya.
Masyarakat juga akan melihat bagaimana kayanya khazanah yang ada
pada kitab-kitab klasik (kitab kuning), atau paling tidak mereka akan
mengetahui solusi (hukum) permasalahan yang di angkat pada waktu forum bahtsul
masa’il dilaksanakan.
3.
Sebagai Pembuka Kran-kran Dialog
Salah satu yang menjadi sebab terjadinya kejumudan dalam berpikir
adalah karena minimnya forum-forum dialog dalam kehidupan bermasyarakat.
Ditambah lagi, kebanyakan aktifitas masyarakat era modern seperti sekarang
lebih memilih memanfaatkan media elektronik sebagai sarana komunikasi. Hal ini
dapat melahirkan semakin kakunya manusia
dalam mengolah nalar. Media komunikasi memang dapat menjadi alternatif agar
komunikasi berjalan dengan tidak membutuhkan waktu yang lama, namun yang juga
harus diingat, manusia secara fiitrah adalah makhluk sosial yang membutuhkan
sosialisasi atau interaksi secara langsung kepada manusia lainnya. Hal itu
bertujuan agar kejumudan-kejumudan yang ada dapat di reduksi sebisa mungkin
sehingga kekakuan yang menjerembab dapat dicairkan dan menjadi terbuka.
Diantara efek negatif yang
ditimbulkan karena minimnya forum-forum dialog adalah melahirkan
manusia-manusia intoleran. Manusia-manusia yang tidak terbiasa menerima
pendapat yang datangnya dari pihak lain. Sehingga antara manusia satu dengan
manusia yang lain menjadi apatis dan tidak mau menerima informasi dari pihak
yang di anggap memiliki latar belakang yang berbeda.
Komunikasi atau dialog secara langsung merupakan faktor penting
untuk mewujudkan sikap toleransi di tengah masyarakat. Komunikasi merupakan
jalan untuk membangun sebuah keharmonisan. Untuk membangun sikap toleran, maka
diperlukan komunikasi yang intensif. Bahkan perlu dilakukan dengan terbuka dengan
syarat adanya ketulusan hati dan tidak berprasangka buruk terhadap yang
lainnya.[4]
Dalam forum bahtsul masa’il, masyarakat akan disuguhkan
dengan sesuatu yang tidak biasa. Bagaimana cara menyikapi perbedaan dalam
memandang berbagai masalah, sampai dengan prosesi dalam mengambil sikap dan
hukum. Pada segmen ini, biasanya para peserta bahtsul masa’il akan
saling adu argumentasi dan saling mempertahankan hujjah-nya
masing-masing. Kendati demikian, para peserta bahtsul masa’il akan tetap
saling menghormati atas adanya perbedaan yang kerap timbul di dalam forum. Hal
ini didasari karena, segala sesuatu yang disampaikan memiliki tujuan baik dan
masing-masing sama-sama memiliki dasar yang kuat. Yang juga menjadi faktor
penting adalah adanya kesadaran bahwa perbedaan adalah sebagai keniscayaan yang
tidak pernah dapat ditepiskan dalam kehidupan.
Dari sini, secara tidak langsung telah mengajarkan kepada
masyarakat bahwa dialog atau interaksi secara langsung dapat dijadikan sebagai
cara menepis kekakuan dan kejumudan yang belakangan ini kerap tumbuh dalam
lingkungan masyarakat yang heterogen.
4.
Sebagai Wadah Penampung Permasalahan Masyarakat Secara Langsung
Tak jarang masyarakat modern menjadikan internet sebagai bahan
rujukan untuk memecahkan sebuah masalah yang mereka hadapi. Disamping hal ini dianggap
sebagai cara yang mudah, hal ini juga lebih menghemat waktu, tenaga, dan
pikiran. Namun yang perlu dipahami secara bersama adalah internet (dalam hal
ini google) merupakan media yang bersifat umum. Siapa saja bisa memanfaatkan
dan meng-akses apapun di media ini. Informasi apa saja yang kita inginkan,
internet dapat menjawabnya secara cepat, namun bukan berarti informasi yang
didapatkan selalu benar sesuai dengan hukum yang sebenarnya.
Dalam urusan agama ketika ingin mengetahui sesuatu hendaknya
belajar kepada guru secara langsung atau bertanya langsung kepada ahlinya.
Sebagaimana hadits Nabi SAW yang artinya kurang lebih sebagai berikut : “Jika
urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah kehancuran itu”. Hal ini
dilakukan bukan sebagai bentuk kekolotan dalam menyikapi modernitas, tapi lebih
kepada kehati-hatian dalam beragama. Melalui forum bahtusl masa’il,
masyarakat dapat menyampaikan sesuatu terkait problematika yang mereka hadapi
secara langsung. Hal tersebut dapat dikodifikasikan oleh civitas bahtsul
masa’il sebagai bahan masalah yang harus dipecahkan pada forum-forum bahtsul
masa’il selanjutnya.
5.
Bentuk Pembelajaran Kehati-hatian dalam Menetapkan Hukum
Hal yang juga penting adalah, forum ini dapat menjadi sarana
pembelajaran bagi masyarakat secara luas bahwa dalam menetapkan satu hukum saja,
bahtsul masa’il membutuhkan waktu yang cukup lama. Hal ini dapat
dijadikan sebagai acuan bahwa ternyata menggali hukum bukanlah perkara yang
mudah.
Yang juga menjadi hal unik, disaat peserta menyampaikan argumentasinya,
mereka tidak secara serta-merta langsung saja menjadikan Al-Qur’an atau Al-Hadits
sebagai dasar (hujjah). Hal ini bukan berarti meninggalkan Al-Qur’an dan
Al-Hadits dalam mencari sumber hukum. Paham Ahlussunnah wal jama’ah
memiliki empat dasar dalam pengambilan hukum. Al-Qur’an dan Al-Hadits adalah
sebagai sumber utama, kemudia ada ijma’ dan qiyas sebagai sumber berikutnya
apabila hukum tersebut tidak ditemukan secara pasti dalam Al-Qur’an dan
Al-Hadits.
Tidak
serta-mertanya langsung mengambil dasar hukum dari Al-Qur’an dan Al-Hadits
adalah upaya kehati-hatian dalam menyikapi sebuah masalah. Oleh karena itu
membutuhkan pandangan seorang mujtahid dalam menggali hukum, yaitu para imam
madzhab. Terlalu naif jika manusia yang hidup pada masa ini dapat mengetahui
secara pasti apa yang ada dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits tanpa melalui imam atau
ulama’ madzhab. Sedangkan mencapai gelar mujtahid saja membutuhkan kriteria
yang luar biasa rumit.
Kerumitan kriteria
dapat mencapai derajat mujtahid dapat dilihat bagaimana tanggapan Imam Ahmad
bin Hambal dalam masalah ini. Dalam kitab A’alam Al-Muwaqqi’in yang
ditulis oleh Ibnu Qayyim, beliau pernah ditanya :”Apabila seseorang telah hafal
100.000 hadits dapat menjadi mujtahid?, Imam Ahmad menjawab “Tidak”. “Bagaimana
kalau 200.000 hadits?”, beliau menjawab,”Tidak”. “Bagaimana kalau 300.000
hadits?”, beliau menjawab,”Tidak”. Bagaimana kalau 400.000 hadits?,” beliau
menjawab,”Mungkin bisa”.[5]
Bahkan dikatakan
bahwa derajat seorang mujtahid tidak akan lagi dapat di capai oleh
generasi-generasi kontemporer seperti sekarang. Sebagaimana komentar Imam
Fakhruddin Ar-Razi (543-606 H), Imam Ar-Rafi’i (557-623 H), dan Imam An-Nawawi
(631-676 H),”Para ulama sepertinya telah berkonsensus bahwa pada saat ini
seorang mujtahid telah tidak ada lagi”.[6]
Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulum Ad-din juga mengatakan,”adapun orang yang
tidak memiliki derajat ijtihad, yaitu hukum yang berlaku bagi semua generasi
dewasa ini (abad ke-5), maka ia mengeluarkan fatwa dengan mengutip pendapat
madzhab imamnya”, dalam Al-Wasith, beliau juga menjelaskan ,”Adapun syarat-syarat
ijtihad bagi seorang hakim, di masa sekarang tidak mungkin dapat terpenuhi.[7]
Inilah alasan, kenapa dalam forum bahtsul masa’il nyaris
tidak ditemukan hujjah yang disampaikan itu langsung merujuk kepada
Al-Qur’an dan Al-Hadits. Melainkan merujuk kepada pandangan imam madzhab atau
ulama madzhab tentang duduk persoalan yang dibahas di dalam forum ini karena kredibilitas
keilmuannya sudah tak lagi diragukan.
Bahkan Imam Al-Haramain (419-479 H) lebih tegas menjelaskan :”Para
ulama muhaqqiqun telah bersepakat bahwa kalangan awam tidak boleh
mengikuti madzhab kalangan sahabat. Bahkan mereka harus mengikuti madzhab imam
yang telah melakukan penyelidikan dan pengkajian, menyusun bab-bab dalam fiqih
secara sistematis dan menjelaskan masalah-masalah fiqih yang ada, karena mereka
telah menjelaskan metode-metode pengkajian, meluruskan masalah-masalah, memberi
penjelasan dan menghimpunnya.
Datang dari Imam Taqiyyuddin ibn Al-Shalah As-Syahrazuri (577-634
H) mengatakan :”Menjadi sebuah keharusan taklid pada madzhab para imam empat, bukan
yang lainnya. Karena madzhab mereka telah tersebar luas, pembatasan kemutlakan
dan pembatasan keumuman telah diketahui, dan cabang-cabangnya telah diuraikan.
Hal ini berbeda dengan madzhab-madzhab selain mereka”.[8]
Beberapa komentar ulama diatas memberikan pembelajaran bagi kita
tentang pentingnya memakai pandangan imam madzhab dalam menetapkan hukum dalam
sebuah masalah.
2.3
Kendala Yang dihadapi Jika
Melibatkan Masyarakat dalam Bahtsul Masa’il
Melibatkan masyarakat dalam forum bahtsul masa’il memang
banyak memberikan manfaat, baik itu manfaat secara internal (yang dirasakan
oleh civitas bahtsul masa’il), maupun manfaat yang bersifat eksternal
(yang dirasakan langsung oleh masyarakat). Namun, tentu saja dalam
mengaplikasikan hal ini juga akan menimbulkan kendala yang akan dihadapi.
Menerapkan sesuatu yang baru tidak akan lepas dari segala konsekuensi yang akan
timbul. Tetapi bukan berarti hal demikian dapat dijadikan sebagai alasan untuk
tidak melakukan hal baru tersebut. Karena hal ini dapat dicari solusinya sebagai
bahan evaluasi agar pelaksanaan kedepan dapat berjalan lebih baik lagi.
Tantangan yang akan dihadapi jika melibatkan masyarakat secara luas
dalam forum bahtsul masa’il adalah sesuatu yang tidak dapat ditepiskan. Karena
forum seperti ini belum begitu di kenal dalam pandangan mereka. Adapun beberapa
tantangan yang dimungkinkan akan muncul adalah sebagai berikut :
1.
Bagi kaum akademisi santri mungkin tidak heran jika melihat dalam
forum bahtsul masa’il akan ada adu argumentasi hingga panas. Karena hal
seperti ini menjadi sesuatu yang wajar dan biasa. Namun ketika yang menyaksikan
adalah masyarakat secara luas, tentu akan berbeda persepsi dalam menyikapinya.
Hal seperti ini bahkan dapat memberikan kesan bahwa antar peserta satu dengan
peserta yang lain seakan-akan terlihat saling bermusuhan dan saling menyerang. Sementara,
keberadaan kaum santri di tengah masyarakat sering kali dijadikan sebagai role
model (teladan) dalam bermasyarakat, tetapi kenapa harus memberikan contoh yang
terkesan ‘tidak baik’.
2.
Salah satu hal positif ketika melibatkan masyarakat dalam aktifitas
bahtsul masa’il adalah masyarakat dapat bertanya langsung tentang problematika
yang mereka hadapi. Kendati demikian, jika dalam kenyataannya terlalu banyak
permasalahan/pertanyaan yang masuk dan tidak dapat dipecahkan secara on time
dan real time, maka forum bahtsul masa’il hanya akan berisi “timbunan
masalah” yang justru berpotensi menjadi masalah baru[9].
Hal ini sebagaimana yang pernah di tulis oleh ketua PW NU Jawa Timur KH. M.
Hasan Mutawakkil Alallah dalam sambutan beliau di buku NU MENJAWAB PROBLEMATIKA
UMAT : Keputusan Bahtsul masa’il PWNU Jawa Tumur.
3.
Bahtsul masa’il kerap kali membutuhkan waktu yang panjang dalam
memecahkan sebuah permasalahan. Hal ini juga dapat menjadi kendala bagi
masyarakat yang terlibat dalam forum ini. Rasa jenuh dan bosan pasti akan
mereka rasakan, karena mereka mungkin tidak terbisa duduk berlama-lama
sebagaimana kebiasaan para santri. Kaum santri sudah terlatih duduk lama ketika
mereka di pondok pesantren. Ketika mengaji kitab, sowan kepada kyai, ketika
mereka berada di warung kopi, atau saat diskusi-diskusi ringan yang diadakan di lingkungan internal antar santri.
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Kehadiran bahtsul masa’il sangat dibutuhkan di tengah
masyarakat modern seperti sekarang. Mengingat permasalahan yang dihadapi
belakangan ini semakin kompleks. Dari mulai masalah hukum fiqih, sosial,
politik, ekonomi, budaya, dan lain sebagainya. Dari pemaparan di atas dapat
disimpulkan juga bahwa kehadiran bahtsul masa’il tidak cukup hadir
sebagai produk yang sudah. Namun lebih pada bagaimana eksistensi dan manfaat bahtusl
masa’il dapat dirasakan secara langsung oleh masyarakat secara luas yaitu dengan
upaya mengajak dan mengenalkan tradisi dalam forum bahtsul masa’il. Adapun
salah satu kiat yang dapat dilakukan adalah :
1.
Menjadikan masjid sebagai central kegiatan bahtsul masa’il agar
masyarakat dapat turut serta dalam agenda kegiatan ini
2.
Menjaring minat masyarakat melalui media sosial. Hal ini dilakukan
dengan tujuan agar forum bahtsul masa’il diketahui oleh khalayak yang
lebih luas.
3.
Melibatkan tokoh masyarakat dalam kepengurusan lembaga bahtsul
masa’il. Keberadaan tokoh masyarakat dalam kepengurusan lembaga bahtsul
masa’il dapat dijadikan sebagai magnet penarik karena ketokohannya.
Beberapa manfaat akan dirasakan secara langsung oleh masyarakat
ketika mereka terlibat dalam forum ini. Diantaranya, mereka akan mengenal
turast ilmiah yang ada dilingkungan pesantren, bahtsul masa’il, sebagai tempat
menimba ilmu, sebagai forum diskusi yang sehat, terjadinya dialog antara
masyarakat dengan civitas bahtsul masa’il, sebagai tempat melimpahkan
problematika yang belum terpecahkan solusinya di tengah masyarakat, pengajaran
kehati-hatian dalam menentukan hukum dan beberapa hal lainnya.
Manfaat yang dirasakan oleh civitas bahtsul masa’il dengan melibatkan
masyarakat secara langsung dalam forum ini adalah dapat dijadikan sebagai
ladang dakwah dan upaya pembentengan dari paham Islam transnasioanl yang kental
dengan wahabismenya kepada masyarakat secara luas.
Beberapa kendala yang akan dihadapi ketika melibatkan masyarakat
dalam aktifitas bahtsul masa’il diantaranya adalah sebagai berikut :
1.
Masyarakat akan merasa aneh dan heran ketika melihat para akademisi
santri saling adu argumen hingga panas.
2.
Masalah yang akan masuk akan semakin banyak
3.
Masyarakat akan merasa jenuh karena aktifitas bahtsul masa’il
sering kali membutuhkan waktu ang cukup lama.
Adapun solusi yang dapat dilakukan dalam menghadapi masalah
tersebut diantaranya ialah :
1.
Jika masyarakat akan merasa aneh saat melihat para akademisi santri
saling adu argumen hingga panas. Hal ini dapat dijelaskan sebelum forum bahtsul
masa’il dimulai kepada seluruh peserta yang ada. Bahwa masalah seperti itu
adalah hal biasa, bahkan inilah momentum yang menarik dalam forum bahtsul
masa’il. Maka tidak perlu panik atau mungkin memiliki dugaan yang negatif.
Dengan menjelaskan masalah ini dapat mengurangi prasangka yang akan timbul di
tengah masyarakat nantinya.
2.
Tentang timbunan masalah sebagaimana yang tertulis di bab II point
2, jika memang dirasa dalam bahtsul masa’il tidak bisa memecahkan
masalah secara on time maupun real time atas banyaknya masalah
yang didapatkan dari masyarakat, hal ini dapat diantisipasi dengan cara
membatasi setiap masalah yang ditanyakan sebagaimana kemampuan para civitas
bahtsul masa’il.
3.
Agar peserta bahtsul masa’il tidak bosan dan jenuh dalam kegiatan
ini, kiranya perlu ada waktu jeda untuk istirahat. seperti coffee break atau
di isi dengan ice breaking. Sebagaimana yang ada di seminar-seminar pada
umumnya. Mungkin adanya sesi ice breaking akan terlihat aneh di tengah
forum bahtsul masa’il. Namun tidak menjadi masalah, hal ini dilakukan
agar dapat mengurangi kejenuhan atau kebosanan yang dirasakan oleh masyarakat
yang terlibat dalam aktifitas bahtsul masa’il.
3.2
Saran
Komitmen dan loyalitas seluruh civitas bahtusl masa’il
sangat dibutuhkan dalam berbagai forum yang akan diadakan. Tentu juga dukungan
dari masyarakat tidak kalah pentinynya. Tanpa itu semua, sebaik apapun konsep
yang dibuat akan menjadi tidak berarti. Adanya senergitas antara masyarakat dan
civitas bahtsul masa’il merupakan kunci suksesnya segala agenda yang
akan diadakan.
Jika hal ini sudah diimplementasikan, maka penelitian lanjutan akan
bisa dilakukan. Seperti: Bagaimana tingkat kepuasan masyarakat ketika mereka
terlibat dalam forum bahtsul masa’il secara langsung, apakah ada
pengaruh signifikan dalam kehidupan masyarakat ketika mereka terlibat secara
langsung dalam forum ini, atau bisa juga dibuat perbandingan antara bahtsul
masa’il dengan melibatkan masyarakat atau tanpa melibatkan masyarakat
secara langsung, dan beberapa hal lain yang dapat dikembangkan.
Terakhir, tentu dalam penulisan makalah ini masih banyak
kekurangan. Sebagai bahan perbaikan, kritik konstruktif sangat diperlukan agar dalam
tulisan-tulisan selanjutnya penulis dapat menuangkan ide dan gagasan dalam
tulisan-tulisan yang lebih baik lagi.
DAFTAR BIBLIOGRAFI
Ramadhan
Al-Buthy, Muahmmad Sa’id.Sirah Nabawiyah. Diterjemahkan oleh Aunur Rafiq
Shaleh Tamhid. Jakarta:Robbani Press,1999.
Wahid, K.H
Abdurrahman. Ilusi Negara Islam. Jakarta: The Wahid Institute,2009.
Tim Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur. Khazanah Aswaja. Surabaya: Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur,2016.
Sholehuddin. Damai Beragama Damai Bernegara. Tangerang
Selatan: Barokah Multigrafika,2018.
Tim PW LMB NU
Jawa Timur. pengantar buku Nu Menjawab Problematika Umat: Keputusan Bahtsul
Masa’il PWNU Jawa Timur Jilid 1: 1979-2009, editor oleh. Ahmad Muntaha.
Surabaya: PW LBM NU Jawa Timur, 2015.
[1] Muahmmad Sa’id Ramadhan Al-Buthy, Sirah Nabawiyah, penj: Aunur
Rafiq Shaleh Tamhid Lc (Jakarta:Robbani Press,1999) hal.185
[2] K.H Abdurrahman Wahid, Ilusi
Negara Islam, (Jakarta: The Wahid Institute,2009) hal.78
[3] Tim Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur, Khazanah Aswaja,
(Surabaya: Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur,2016)hal.204
[4] Sholehuddin , Damai Beragama Damai Bernegara,(Tangerang
Selatan: Barokah Multigrafika,2018)hal.141
[5] Tim Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur, Khazanah Aswaja(Surabaya:
Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur,2016)hal.201
[6] Ibid, hal.198
[7] Ibid.
[8] Ibid, hal .201
[9] Tim PW LMB NU Jawa Timur, pengantar buku Nu Menjawab Problematika
Umat: Keputusan Bahtsul Masa’il PWNU Jawa Timur Jilid 1: 1979-2009, ed.
Ahmad Muntaha (Surabaya: PW LBM NU Jawa Timur, 2015), hal.xi
Posting Komentar