Riwayat Hidup dan Keluarga
Beliau adalah kyai sepuh karismatik yang sering menjadi tumpuan
permasalahan besar kebangsaan dan dunia internasional. Rakyat, santri, semua
lapisan masyarakat, dan tokoh masyarakat, serta pejabat pemerintahan merasa
dekat kepada beliau dan selalu memperoleh solusi terbaik. Sesi-sesi penting
seperti pemilihan presiden Indonesia tahun 2019 ini menjadi bukti bahwa ulama
menjadi tumpuan permasalahan kebangsaan. Para ulama sepuh mendaulat beliau
sebagai waliyullah akhir zaman yang menjadi patok penerang batin seluruh umat.
KELAHIRAN
BELIAU
Beliau adalah putra pertama dari Kyai Zubair. Dilahirkan di
Karang Mangu Sarang hari Kamis Legi bulan Sya'ban tahun 1347 H atau 1348H atau
28 Oktober 1928. Dan siapapun zaman itu tidaklah menyangsikan, bahwa ayahnda
Kyai Maimoen, Kyai Zubair, adalah murid pilihan dari Syaikh Sa’id Al-Yamani
serta Syaikh Hasan Al-Yamani Al- Makky.
Dua ulama yang kesohor pada saat itu. Seorang Kyai yang tersohor karena
kesederhanaan dan sifatnya yang merakyat. Ibundanya adalah putri dari Kyai Ahmad
bin Syu’aib, ulama yang kharismatis yang teguh memegang pendirian. Pada umur 25
tahun, beliau menikah dan selanjutnya menjadi kepala pasar Sarang selama 10
tahun. Mbah Moen, begitu orang biasa memanggilnya, adalah insan yang lahir dari
gesekan permata dan intan.
Dari ayahnya, beliau meneladani ketegasan dan keteguhan, sementara dari
kakeknya beliau meneladani rasa kasih sayang dan kedermawanan. Kasih sayang
terkadang merontokkan ketegasan, rendah hati seringkali berseberangan dengan
ketegasan. Namun dalam pribadi Mbah Moen, semua itu tersinergi secara padan dan
seimbang. Kerasnya kehidupan pesisir tidak membuat sikapnya ikut mengeras.
Beliau adalah gambaran sempurna dari pribadi yang santun dan matang. Semua itu
bukanlah kebetulan, sebab sejak dini beliau yang hidup dalam tradisi pesantren
diasuh langsung oleh ayah dan kakeknya sendiri. Beliau membuktikan bahwa ilmu
tidak harus menyulap pemiliknya menjadi tinggi hati ataupun ekslusif dibanding
yang lainnya. Kesehariannya adalah aktualisasi dari semua itu.
Walau banyak dikenal dan mengenal erat tokoh-tokoh nasional, tapi
itu tidak menjadikannya tercerabut dari basis tradisinya semula. Sementara
walau sering kali menjadi peraduan bagi keluh kesah masyarakat, tapi semua itu
tetap tidak menghalanginya untuk menyelami dunia luar, tepatnya yang tidak
berhubungan dengan kebiasaan di pesantren sekalipun.
WAFAT
BELIAU
Beliau wafat pada hari Selasa, 6 Agustus 2019 pagi di Mekkah dalam
rangka merayakan ibadah haji.
Pendidikan
Kematangan ilmunya tidak ada satupun yang meragukan. Sebab sedari balita ia
sudah dibesarkan dengan ilmu-ilmu agama. Sebelum menginjak remaja, beliau
diasuh langsung oleh ayahnya untuk menghafal dan memahami ilmu Shorof, Nahwu,
Fiqih, Manthiq, Balaghah dan bermacam Ilmu Syara’ yang lain. Kecemerlangan demi
kecermelangan tidak heran menghiasi langkahnya menuju dewasa.
Pada usia yang masih muda, kira-kira 17 tahun, Beliau sudah hafal diluar kepala
kiab-kitab nadzam, diantaranya Al-Jurumiyyah, Imrithi, Alfiyyah Ibnu Malik,
Matan Jauharotut Tauhid, Sullamul Munauroq serta Rohabiyyah fil Faroidl.
Seiring pula dengan kepiawaiannya melahap kitab-kitab fiqh madzhab Asy-Syafi’I,
semisal Fathul Qorib, Fathul Mu’in, Fathul Wahhab dan lain sebagainya.
Silsilah Keilmuan
Pendidikan Awal di Lirboyo
Pada tahun kemerdekaan, Beliau memulai pengembaraannya guna ngangsu kaweruh
kePondok Lirboyo Kediri, dibawah bimbingan KH. Abdul Karim yang terkenal dengan
Mbah Manaf. Selain kepada Mbah Manaf, Beliau juga menimba ilmu agama dariKH.
Mahrus Ali juga KH. Marzuqi. Di pondok Lirboyo, pribadi yang sudah
cemerlang ini masih diasah pula selama kurang lebih lima tahun. Waktu yang
melelahkan bagi orang kebanyakan, tapi tentu masih belum cukup untuk menegak
habis ilmu pengetahuan.
Menuntut Ilmu di Mekah
Tanpa kenal batas, beliau tetap menceburkan dirinya dalam samudra ilmu-ilmu
agama. Sampai pada akhirnya, saat menginjak usia 21 tahun, beliau menuruti
panggilan jiwanya untuk mengembara ke Makkah Al-Mukarromah. Perjalanan ini
diiringi oleh kakeknya sendiri, yakni KH. Ahmad bin Syu’aib. Tidak hanya satu,
semua mata air ilmu agama dihampirinya. Beliau menerima ilmu dari sekian banyak
orang ternama dibidangnya, antara lain:
- Sayyid Alawi bin Abbas Al Maliki
- Syekh Al-Imam Hasan Al-Masysyath
- Sayyid Amin Al-Quthbi
- Syekh Yasin bin Isa Al- Fadani
- Syekh Abdul Qodir Almandily
Menuntut Ilmu di Ulama Besar Jawa
Dua tahun lebih Beliau menetap di Makkah Al- Mukarromah. Sekembalinya dari
Tanah suci, Beliau masih melanjutkan semangatnya untuk “ngangsu kaweruh” yang
tak pernah surut. Walau sudah dari Arab, beliau masih meluangkan waktu untuk
memperkaya pengetahuannya dengan belajar kepada Ulama-ulama’ besar tanah Jawa
saat itu.
Silsilah Nasab
Dari Jalur Nenek ibu Nyai Hasanah, yaitu:
- Mbah
Kyai Maulana (Mbah Lanah), bangsawan Madura yang bergabung dengan pasukan
Pangeran Diponegoro
- Mbah
Kyai Ghozali bin Mbah Kyai Maulana
- Hajjah
Sa’idah binti Mbah Kyai Ghozali yang menikah dengan Kyai Syu’aib, kyai
Syu’aib adalah penerus perkembangan pesantren yang dirintih mbah Maulana
dan Mbah Ghozali
- Nyai
Hasanah binti Kyai Syu’aib
- Nyai
Hasanah menikah dengan Kyai Dahlan
- Kyai
Zubair bin Kyai Dahlan
- Kyai Maimun
Zubair
Dari Jalur Kakek sampai dengan Sunan Giri, yaitu:
- Mbah
Maimun bin
- kyai
Zubair bin
- kyai
Dahlan bin
- mbah
Carik Waridjo bin
- mbah
Munandar bin
- kyai
Puteh Podang (desa Lajo Singgahan Tuban) bin
- kyai
Imam Qomaruddin (dari Blongsong Baureno Bojonegoro) bin
- kyai
Muhammad (Macan Putih Gresik) bin
- kyai
Ali bin
- kyai
Husen (desa Mentaras Dukun Gresik) bin
- kyai
Abdulloh (desa Karang Jarak Gresik) bin
- pangeran
Pakabunan bin
- panembahan
Kulon bin
- sunan
Giri
Penerus Beliau
Putra putra beliau antara lain:
1. KH Abdullah Ubab
2. KH Gus Najih
3. KH Majid Kamil
4. Gus Abd. Ghofur
5. Gus Abd. Rouf
6. Gus M. Wafi
7 . Gus Yasin
8. Gus Idror
dan dua putri, yaitu:
1. Sobihah (mustofa aqil)
2. Rodhiyah (Gus Anam)
Jasa dan Karya Beliau
Pesantren Al Anwar, Sarang
Pada tahun 1965 beliau mengabdikan diri untuk berkhidmat pada ilmu-ilmu agama.
Hal itu diiringi dengan berdirinya Pondok Pesantren yang berada disisi kediaman
Beliau. Pesantren yang sekarang dikenal dengan nama Al-Anwar. Satu dari sekian
pesantren yang ada di Sarang. Keharuman nama dan kebesaran Beliau sudah tidak
bisa dibatasi lagi dengan peta geografis. Banyak sudah ulama-ulama dan santri yang
berhasil “jadi orang” karena ikut di-gulo wentah dalam pesantren Beliau.
Sudah terbukti bahwa ilmu-ilmu yang Belaiu miliki tidak cuma membesarkan jiwa
Beliau secara pribadi, tapi juga membesarkan setiap santri yang
bersungguh-sungguh mengecap tetesan ilmu dari Beliau. Kemudian sekitar tahun
2008 beliau kembali mengibarkan sayapnya dengan mendirikan Pondok Pesantren
Al-Anwar 2 di Gondan Sarang Rembang, yang kemudian oleh beliau dipasrahkan
pengasuhannya kepada putranya KH. Ubab Maimun PP Al-Anwar yang berada di
kampung Karangmangu Sarang Rembang Jawa Tengah didirikan oleh KH. Maimun
Zubair pada tahun 1967.
Pondok ini pada mulanya adalah sebuah kelompok pengajian yang dirintis oleh KH.
Ahmad Syuaib dan KH. Zubair Dahlan. Kelompok pengajian tersebut pada awalnya
dilaksanakan di mushalla. Pada perkembangan selanjutnya kedua perintis tersebut
mendirikan tiga komplek bangunan, yaitu komplek A, B dan C. Komplek B
dikembangkan oleh KH. Abdul Rochim Ahmad menjadi PP Ma’hadul Ulumis Syar’iyah.
Sedang komplek A dikembangkan menjadi PP Al-Anwar oleh KH. Maimun Zubair,
putra KH. Zubair Dahlan. Latar belakang pendirian pondok di samping untuk
melanjutkan kegiatan pengajian, juga dilatarbelakangi oleh keinginan untuk
meningkatkan taraf hidup masyarakat sekitar yang umumnya berpenghasilan rendah
sebagai nelayan. Perkembangan jumlah santri PP. Al-Anwar yang cukup pesat,
menuntut adanya pembangunan di bidang fisik.
Pada tahun 1971 musholla direnovasi dengan menambahkan bangunan diatasnya yang
kemudian disebut dengan Khos Darussalam, juga dibangun sebuah kantor yang
berada sebelah Selatan ndalem syaikhina. Seiring dengan bertambahnya santri
maka pembangunan secara fisik pun terus dilakukan. Tercatat pada tahun 1973
dibangun Khos Darunna’im, tahun 1975 Khos Nurul Huda, tahun 1980 Khos AF, dan
masih banyak lagi pembangunan fisik yang yang lain. terakhir dibangunnya gedung
serbaguna PP. Al-Anwar berlantai lima pada tahun 2004 dan juga pada tahun 2005
dibangun Ruwaq Daruttauhid PP. Al-Anwar yang setelah selesai pengerjaannya digunakan
sebagai tempat pertemuan (Multaqo) alumni Sayyid Muhammad Alawy al Maliki
Makkah al Mukarromah.
Tokoh Nasional Tradisional
Mbah Moen, begitu orang biasa memanggilnya, banyak dikenal dan mengenal erat
tokoh-tokoh nasional, tapi itu tidak menjadikannya tercerabut dari basis
tradisinya semula. Sementara walau sering kali menjadi peraduan bagi keluh
kesah masyarakat, tapi semua itu tetap tidak menghalanginya untuk menyelami
dunia luar, tepatnya yang tidak berhubungan dengan kebiasaan di pesantren sekalipun.
Beliau juga pernah menjadi anggota DPRD kabupaten Rembang selama 7 tahun.
Setelah berakhirnya masa tugas, beliau mulai berkonsentrasi mengurus pondoknya
yang baru berdiri selama sekitar 7 atau 8 tahun.
Tapi rupanya tenaga dan pikiran beliau masih dibutuhkan oleh negara sehingga
beliau diangkat menjadi anggota MPR RI utusan Jateng selama tiga periode. Dalam
dunia politik beliau tergolong kiyai yang adem-ayem. Di saat NU sedang ramai
mendirkan PKB (1998) mbah Moen lebih memilih diam dan istiqomah di PPP, partai
dengan gambar Ka’bah. Pada tahun 1977, KH. Maimun
Zubair mengembangkan pesantren dengan mendirikan PP putri Al-Anwar.
berawal dari sebidang tanah yang dimiliki dan hasil pembelian tanah milik
tetangga, beliau termotivasi akan kondisi masyarakat sekitar pada saat itu yang
belum rutin mengerjakan sholat 5 waktu serta minimnya kemampuan
mereka dalam membaca Al Qur’an. Sebagai langkah awal, lalu dibangunlah sebuah
musholla di belakang rumah yang semula berdindingkan anyaman bambu.
Kisah Teladan Beliau
Antara Beliau dan Gus Dur
“Aku ini tidak pernah setuju dengan Gus Dur”, kata Kyai Maimun
Zubair. “Yah... namanya manusia. Tapi aku tidak berani membenci, apalagi
memusuhinya. Takut kuwalat!” Kenyataannya, tidak seratus persen Mbah
Maimun berseberangan dengan Gus Dur. Ketika suatu kali seorang tokoh
intelektual datang jauh-jauh dari Jakarta untuk mengajak beliau masuk
ICMI, Mbah Maimun menolak. “Pak Kiyai ini intelektual yang mumpuni
lho”, kata si tokoh, “cocok sekali kalau masuk ICMI!.” “Ah, saya cukup Nahdlatul
Ulama saja, gabung rombongannya pewaris nabi.” kata mbah Mun “Memangnya di ICMI
nggak bisa?” “Kan nggak ada hadits Al-ICMI warotsatul anbiyaa’? Kalau
Al-Ulamaa' ada!”kata mbah Mun.
Sumber:
1. https://www.laduni.id/
Dua ulama yang kesohor pada saat itu. Seorang Kyai yang tersohor karena kesederhanaan dan sifatnya yang merakyat. Ibundanya adalah putri dari Kyai Ahmad bin Syu’aib, ulama yang kharismatis yang teguh memegang pendirian. Pada umur 25 tahun, beliau menikah dan selanjutnya menjadi kepala pasar Sarang selama 10 tahun. Mbah Moen, begitu orang biasa memanggilnya, adalah insan yang lahir dari gesekan permata dan intan.
Dari ayahnya, beliau meneladani ketegasan dan keteguhan, sementara dari kakeknya beliau meneladani rasa kasih sayang dan kedermawanan. Kasih sayang terkadang merontokkan ketegasan, rendah hati seringkali berseberangan dengan ketegasan. Namun dalam pribadi Mbah Moen, semua itu tersinergi secara padan dan seimbang. Kerasnya kehidupan pesisir tidak membuat sikapnya ikut mengeras.
Beliau adalah gambaran sempurna dari pribadi yang santun dan matang. Semua itu bukanlah kebetulan, sebab sejak dini beliau yang hidup dalam tradisi pesantren diasuh langsung oleh ayah dan kakeknya sendiri. Beliau membuktikan bahwa ilmu tidak harus menyulap pemiliknya menjadi tinggi hati ataupun ekslusif dibanding yang lainnya. Kesehariannya adalah aktualisasi dari semua itu.
Pendidikan
Kematangan ilmunya tidak ada satupun yang meragukan. Sebab sedari balita ia sudah dibesarkan dengan ilmu-ilmu agama. Sebelum menginjak remaja, beliau diasuh langsung oleh ayahnya untuk menghafal dan memahami ilmu Shorof, Nahwu, Fiqih, Manthiq, Balaghah dan bermacam Ilmu Syara’ yang lain. Kecemerlangan demi kecermelangan tidak heran menghiasi langkahnya menuju dewasa.
Pada usia yang masih muda, kira-kira 17 tahun, Beliau sudah hafal diluar kepala kiab-kitab nadzam, diantaranya Al-Jurumiyyah, Imrithi, Alfiyyah Ibnu Malik, Matan Jauharotut Tauhid, Sullamul Munauroq serta Rohabiyyah fil Faroidl. Seiring pula dengan kepiawaiannya melahap kitab-kitab fiqh madzhab Asy-Syafi’I, semisal Fathul Qorib, Fathul Mu’in, Fathul Wahhab dan lain sebagainya.
Silsilah Keilmuan
Pendidikan Awal di Lirboyo
Pada tahun kemerdekaan, Beliau memulai pengembaraannya guna ngangsu kaweruh kePondok Lirboyo Kediri, dibawah bimbingan KH. Abdul Karim yang terkenal dengan Mbah Manaf. Selain kepada Mbah Manaf, Beliau juga menimba ilmu agama dariKH. Mahrus Ali juga KH. Marzuqi. Di pondok Lirboyo, pribadi yang sudah cemerlang ini masih diasah pula selama kurang lebih lima tahun. Waktu yang melelahkan bagi orang kebanyakan, tapi tentu masih belum cukup untuk menegak habis ilmu pengetahuan.
Menuntut Ilmu di Mekah
Tanpa kenal batas, beliau tetap menceburkan dirinya dalam samudra ilmu-ilmu agama. Sampai pada akhirnya, saat menginjak usia 21 tahun, beliau menuruti panggilan jiwanya untuk mengembara ke Makkah Al-Mukarromah. Perjalanan ini diiringi oleh kakeknya sendiri, yakni KH. Ahmad bin Syu’aib. Tidak hanya satu, semua mata air ilmu agama dihampirinya. Beliau menerima ilmu dari sekian banyak orang ternama dibidangnya, antara lain:
- Sayyid Alawi bin Abbas Al Maliki
- Syekh Al-Imam Hasan Al-Masysyath
- Sayyid Amin Al-Quthbi
- Syekh Yasin bin Isa Al- Fadani
- Syekh Abdul Qodir Almandily
Menuntut Ilmu di Ulama Besar Jawa
Dua tahun lebih Beliau menetap di Makkah Al- Mukarromah. Sekembalinya dari Tanah suci, Beliau masih melanjutkan semangatnya untuk “ngangsu kaweruh” yang tak pernah surut. Walau sudah dari Arab, beliau masih meluangkan waktu untuk memperkaya pengetahuannya dengan belajar kepada Ulama-ulama’ besar tanah Jawa saat itu.
Putra putra beliau antara lain:
1. KH Abdullah Ubab
2. KH Gus Najih
3. KH Majid Kamil
4. Gus Abd. Ghofur
5. Gus Abd. Rouf
6. Gus M. Wafi
7 . Gus Yasin
8. Gus Idror
dan dua putri, yaitu:
1. Sobihah (mustofa aqil)
2. Rodhiyah (Gus Anam)
Jasa dan Karya Beliau
Pesantren Al Anwar, Sarang
Pada tahun 1965 beliau mengabdikan diri untuk berkhidmat pada ilmu-ilmu agama. Hal itu diiringi dengan berdirinya Pondok Pesantren yang berada disisi kediaman Beliau. Pesantren yang sekarang dikenal dengan nama Al-Anwar. Satu dari sekian pesantren yang ada di Sarang. Keharuman nama dan kebesaran Beliau sudah tidak bisa dibatasi lagi dengan peta geografis. Banyak sudah ulama-ulama dan santri yang berhasil “jadi orang” karena ikut di-gulo wentah dalam pesantren Beliau.
Sudah terbukti bahwa ilmu-ilmu yang Belaiu miliki tidak cuma membesarkan jiwa Beliau secara pribadi, tapi juga membesarkan setiap santri yang bersungguh-sungguh mengecap tetesan ilmu dari Beliau. Kemudian sekitar tahun 2008 beliau kembali mengibarkan sayapnya dengan mendirikan Pondok Pesantren Al-Anwar 2 di Gondan Sarang Rembang, yang kemudian oleh beliau dipasrahkan pengasuhannya kepada putranya KH. Ubab Maimun PP Al-Anwar yang berada di kampung Karangmangu Sarang Rembang Jawa Tengah didirikan oleh KH. Maimun Zubair pada tahun 1967.
Pondok ini pada mulanya adalah sebuah kelompok pengajian yang dirintis oleh KH. Ahmad Syuaib dan KH. Zubair Dahlan. Kelompok pengajian tersebut pada awalnya dilaksanakan di mushalla. Pada perkembangan selanjutnya kedua perintis tersebut mendirikan tiga komplek bangunan, yaitu komplek A, B dan C. Komplek B dikembangkan oleh KH. Abdul Rochim Ahmad menjadi PP Ma’hadul Ulumis Syar’iyah.
Sedang komplek A dikembangkan menjadi PP Al-Anwar oleh KH. Maimun Zubair, putra KH. Zubair Dahlan. Latar belakang pendirian pondok di samping untuk melanjutkan kegiatan pengajian, juga dilatarbelakangi oleh keinginan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat sekitar yang umumnya berpenghasilan rendah sebagai nelayan. Perkembangan jumlah santri PP. Al-Anwar yang cukup pesat, menuntut adanya pembangunan di bidang fisik.
Pada tahun 1971 musholla direnovasi dengan menambahkan bangunan diatasnya yang kemudian disebut dengan Khos Darussalam, juga dibangun sebuah kantor yang berada sebelah Selatan ndalem syaikhina. Seiring dengan bertambahnya santri maka pembangunan secara fisik pun terus dilakukan. Tercatat pada tahun 1973 dibangun Khos Darunna’im, tahun 1975 Khos Nurul Huda, tahun 1980 Khos AF, dan masih banyak lagi pembangunan fisik yang yang lain. terakhir dibangunnya gedung serbaguna PP. Al-Anwar berlantai lima pada tahun 2004 dan juga pada tahun 2005 dibangun Ruwaq Daruttauhid PP. Al-Anwar yang setelah selesai pengerjaannya digunakan sebagai tempat pertemuan (Multaqo) alumni Sayyid Muhammad Alawy al Maliki Makkah al Mukarromah.
Tokoh Nasional Tradisional
Mbah Moen, begitu orang biasa memanggilnya, banyak dikenal dan mengenal erat tokoh-tokoh nasional, tapi itu tidak menjadikannya tercerabut dari basis tradisinya semula. Sementara walau sering kali menjadi peraduan bagi keluh kesah masyarakat, tapi semua itu tetap tidak menghalanginya untuk menyelami dunia luar, tepatnya yang tidak berhubungan dengan kebiasaan di pesantren sekalipun. Beliau juga pernah menjadi anggota DPRD kabupaten Rembang selama 7 tahun. Setelah berakhirnya masa tugas, beliau mulai berkonsentrasi mengurus pondoknya yang baru berdiri selama sekitar 7 atau 8 tahun.
Tapi rupanya tenaga dan pikiran beliau masih dibutuhkan oleh negara sehingga beliau diangkat menjadi anggota MPR RI utusan Jateng selama tiga periode. Dalam dunia politik beliau tergolong kiyai yang adem-ayem. Di saat NU sedang ramai mendirkan PKB (1998) mbah Moen lebih memilih diam dan istiqomah di PPP, partai dengan gambar Ka’bah. Pada tahun 1977, KH. Maimun Zubair mengembangkan pesantren dengan mendirikan PP putri Al-Anwar. berawal dari sebidang tanah yang dimiliki dan hasil pembelian tanah milik tetangga, beliau termotivasi akan kondisi masyarakat sekitar pada saat itu yang belum rutin mengerjakan sholat 5 waktu serta minimnya kemampuan mereka dalam membaca Al Qur’an. Sebagai langkah awal, lalu dibangunlah sebuah musholla di belakang rumah yang semula berdindingkan anyaman bambu.
Kisah Teladan Beliau
Antara Beliau dan Gus Dur
“Aku ini tidak pernah setuju dengan Gus Dur”, kata Kyai Maimun Zubair. “Yah... namanya manusia. Tapi aku tidak berani membenci, apalagi memusuhinya. Takut kuwalat!” Kenyataannya, tidak seratus persen Mbah Maimun berseberangan dengan Gus Dur. Ketika suatu kali seorang tokoh intelektual datang jauh-jauh dari Jakarta untuk mengajak beliau masuk ICMI, Mbah Maimun menolak. “Pak Kiyai ini intelektual yang mumpuni lho”, kata si tokoh, “cocok sekali kalau masuk ICMI!.” “Ah, saya cukup Nahdlatul Ulama saja, gabung rombongannya pewaris nabi.” kata mbah Mun “Memangnya di ICMI nggak bisa?” “Kan nggak ada hadits Al-ICMI warotsatul anbiyaa’? Kalau Al-Ulamaa' ada!”kata mbah Mun.
Posting Komentar