JUDO MAKALAH
Santri, Cyber War, dan Soft Literacy :
Sejarah Radikalisme Agama
dan Perkembangannya Di Dunia Maya
Oleh : Miftahul Alim
Alamat : Jl. Brigjen Katamso, RT 44, Kel.
Belimbing, Bontang, Kalimantan Timur
Alumni : Pondok Pesantren Ma’had Mamba’ul
Hikam, Jati-Rejo, Diwek-Jombang.
Alamat
email : miftahulalimsaulin6@gmail.com
No.Hp : 0815151985872
ABSTRAK
Sejak era
digital, nampaknya sindikat kejahatan pun mengembangkan sayapnya dan mulai
merambah ke dunia ini. Salah satunya adalah mereka kaum radikalisme berkedok
agama. Menggunakan dunia maya sebagai media penyebaran fitnah, adu domba,
provokasi, juga ujaran kebencian. Hal ini tentu sangat meresahkan dan sangat mengganggu pengguna media sosial
lainnya. Terlebih, sering kali kasus yang diisukan adalah melalui media ini
adalah sesuatu yang sangat sensitif, yaitu tentang isu-isu agama. Agama yang
sejatinya mengajarkan kebaikan, justru di tangan para radikalisme agama ini dijadikan sebagai alat propaganda untuk
memecah bela.
Sebenarnya tujuan
mereka cukup jelas, karena faktor ketidak-sukaan terhadap pemerintah dan memang
dalam hati mereka tidak ditumbuhkan rasa nasionalisme. Sehingga sering kali
yang diucapkan adalah kata-kata yang sama sekali tidak mencerminkan perdamaian.
Perang bagi mereka bukan menjadi masalah besar. Dalam kaca mata mereka, perang
adalah jihad, jika mati maka jaminannya adalah surga. Tentu ini pendapat yang
sangat terburu-buru dan merupakan doktrin konyol. Bagaimana tidak ? yang mereka
lawan pemerintahan yang sah, yang mereka lawan juga sesame saudara muslim
sendiri. Lantas mana yang menyebabkan mereka masuk surge ? apa hanya karena yakin
lantas bias masuk surga ?
Semangat yang
seperti ini terus mereka hembuskan di dunia maya atau media sosial. Adu domba,
profokasi, dan ajakan untuk membenci kepada kelompok yang tida sepemahaman kepada
mereka terus saja dilakukan. Ini adalah masalah yang serius dan harus ada
formula khusus untuk menekan Dan melawan perkembangan mereka. Kita sebagai kaum
santri secara tidak langsung telah memiliki tugas baru. yaitu menekan
perkembangan kejahatan ini di dunia virtual. Melawan kelompok radikalisme berkedok
agama adalah suatu keharusan. Jika diabaikan dapat menjadi bom waktu dan sangat
berbahaya. Karena yang menjadi ancaman bukan hanya kelompok-kelompok tertentu,
namun eksistensi dari sebuah negara.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Radikalisme atas nama
agama tidak hanya terjadi di zaman sekarang. Bahkan di masa Rasulullah
bibit-bibit radikal sudah ada. Kisah yang masyhur diketahui adalah tentang
bagaimana kisah Dzul Khuashirah yang berani secara terang-terangan menentang
apa yang dititahkan oleh Rasullah saat pembagian harta pampasan perang. Kisah
ini banyak di kutib oleh penulis-penulis dalam bukunya yang secara langsung
maupun tidak langsung membahas tentang asal mula tumbuhnya bibit radikalisme
dalam Islam.
Sejak saat itu radikalisasi
berkedok agama kian merebak. Sejarah mencatat, radikalisme yang paling ekstrim
adalah terjadi pada masa Khalifah Utsman bin Affan dan Khalifah Ali bin Abi
Thalib. Dua sosok yang menjadi salah satu khalifah pasca Rasulullah ini
terbunuh secara tragis di tangan orang yang berbuat radikal mengatasnamakan
agama. Dan naasnya, semboyan yang dikutip untuk berbuat sadis itu dari ayat Al-Qur'an.
Kasus di atas terus
terjadi hingga era-era berikutnya. Dan
sampai detik ini pun kita masih banyak
menjumpai kelompok atau golongan bahkan atas nama pribadi berbuat radikal
dengan menggunakan propaganda agama. Berteriak lantang membawa agama Islam,
namun sejatinya tingkah laku dan karakternya tidak sama sekali mencerminkan
ajaran agama itu sendiri. Terlebih, saat ini adalah era keterbukaan informasi. Di dunia virtual ini, propaganda radikalisasi atas nama agama
kian kencang didengungkan. Hal tersebut tentu tidak terlepas dari peran media-media yang ada,
terutama dalam hal ini adalah media sosial.
Sebagai kaum santri, tentu kita merasa risih dan terpanggil untuk melawa
paradoks yang mereka gemakan. Namun, hal ini tidak semudah apa yang dipikirkan.
Karena para kaum fundamentalis itu menjadikan agama sebagai tameng, maka yang melawan mereka akan dituding telah melawan agama. Hal ini
sebagaimana yang pernah diungkapkan oleh KH. Abdurrahman Wahid dalam bukunya:
Ilusi Negara Islam, "Jargon memperjuangkan Islam sebenarnya adalah
memperjuangkan suatu agenda politik tertentu dengan menjadikan Islam sebagai kemasan
dan senjata. Langkah ini sangat ampuh, karena siapapun yang melawan mereka akan
dituduh melawan Islam". Secara nalar-logis tentu tidaklah demikian, karena
sejatinya yang melawan mereka juga banyak dari kaum muslimin sendiri yang
berhaluan moderat.
Hizbut Tahrir Indonesia adalah salah satu jelmaan
dari kaum fundamentalis yang sempat hidup subur di negeri kita tercinta. Memang
secara de facto keberadaan organisasi ini telah resmi
dibubarkan. Namun, mengubah ideologi tidaklah semudah membalikkan telapak
tangan. Di dunia nyata boleh ia dikatakan telah dilumpuhkan
eksistensinya. Tetapi di dunia maya,
para simpatisan HTI masih hidup dan terus bergentayangan menyebarkan ideologi
yang mereka yakini,
yakni ingin mendirikan khilafah versi mereka. Mereka nampaknya cukup lihai dalam memanfaatkan dunia
maya sebagai media untuk terus bergerak. Dalam hal ini, totalitas dan loyalitas
mereka bisa dibilang sangat luar biasa.
Lantas bagaimana dan apa
yang harus dilakukan oleh kaum santri dan para generasi
muslim moderat untuk membendung pergerakan
mereka di dunia yang tak kasat mata tersebut. Pada makalah kali ini penulis
berusaha untuk merumuskan kiat dan upaya bagaimana mengimbangi permainan mereka
dalam dunia maya - atau yang sekarang lebih dikenal dengan istilah cyber-war.
1.2 Ruang Lingkup
Setidaknya ada tiga point
permasalahan yang akan dituangkan penulis dalam makalah kali ini. Diantaranya
adalah sejarah
singkat radikalisme dalam tubuh
Islam, pola
radikalisme dalam pemanfaatan media,
dan bagaimana upaya penanganan radikalisasi dalam
lingkup media sosial yang kian menguat ?.
Menjadi barang pasti
ketika akan menerapkan sebuah gagasan akan menjumpai kendala-kendala dalam
mengejawantahkan gagasan tersebu. Penulis juga berusaha untuk memberikan
tawaran solusi bagaimana agar ide-ide yang akan ditunangkan dapat dijalankan
sebagaimana mestinya.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Sejarah Radikalisme
dalam Islam
Saat kita berbicara
tentang konflik, dapat dipastikan bahwa seluruh manusia yang pernah hidup di atas bumi ini tidak pernah lepas dari
lika-liku pusaran konflik. Begitu juga dalam Islam. Sebagai pemeluk agama suci ini, secara
prinsip kita meyakini apa yang ada di dalam Islam adalah kebenaran absolut (mutlak).
Secara produk, agama Islam dapat dinilai sebagai sesuatu yang sempurna, namun
dalam aplikasinya kita tidak bisa menafikan adanya praktik-praktik yang membawa
label “Islam” tetapi sebenarnya yang diamalkan sama sekali tidak
merepresentasikan intisari Islam itu sendiri, bahkan bisa dikatakan jauh dari
esensi ajaran Islam. Menela’ah sejarah konflik yang pernah terjadi dalam Islam bukan
berarti ingin membeberkan aib agama suci ini, justru ini dapat dijadikan
sebagai usaha prefentif (pencegahan) agar sejarah konflik yang kelam dapat
ditekan kelahirannya di masa yang akan datang.
1.
Bibit Radikalisme di Era Rasulullah SAW
KH. Abdurrahman
Wahid, dalam buku “Islamaku, Islam anda, Islam kita”, menyebut beberapa faktor
kenapa seseorang dapat terpapar virus radikal. Gus Dur menyebutkan setidaknya
ada dua faktor utama. Pertama, mereka melihat kaum muslimin tertinggal jauh di
belakang orang-orang lain. Ketertinggalan ini mereka kejar secara fisik, yaitu
menggunakan kekerasan untuk menghalangi kemajuan materialistik dan duniawi
tersebut. Kedua, munculnya gerakan fundamentalistik ini adalah proses
pendangankalan agama yang menghinggapi kaum muda muslimin sendiri. Mereka kebanyakan adalah dari ahli ilmu
matematika dan ilmu-ilmu eksakta lainnya. Para ahli ekonomi yang penuh dengan
hitung-hitungan rasional dan para dokter yang selalu bekerja secara empirik.
Maka dengan sendirinya tidak ada waktu bagi mereka untuk belajar agama secara
mendalam. Menurut Gus Dur, fakta inilah yang menyebabkan mereka mencari jalan
pintas dengan mencari sumber-sumber Islam secara tekstual tanpa mempelajari
penafsiran dan pendapat-pendapat hukum yang sudah berjalan berabad-abad
lamanya.
Namun demikian, bibit radikalisme
ternyata memang sudah muncul sejak zaman Rasulullah SAW. Sebuah hadis yang
diriwayatkan oleh Imam Bukhari yang dikutip oleh Syaikh-Ul-Islam DR. Muhammad
Tahir-Ul-Qadri dalam buku : Fatwa Tentang Teroris dan Bom Bunuh Diri. Yang
artinya :
“Suatu
ketika Nabi SAW melakukan pembagian harta, berkata Dzul Khuashirah, seorang
dari dari Bani Tamim, “Wahai Rasulullah, berlakulah adil !”. Rasulullah
menjawab,”celakalah engkau, siapa yang akan berlaku adil jika aku dianggap
tidak adil?” Umar berkata, “Izinkan saya untuk memenggal lehernya!”, Nabi SAW
menjawab, “Jangan, sesungguhnya dia memiliki teman-teman yang salah seorang
diantara kalian akan merasa minder dengan shalat dan puasanya mereka. Mereka
keluar dari agamanya seperti anak panah keluar dari busurnya.”[1]
Pembangkangan yang
dilakukan oleh Dzul Khuashirah tercatat sebagai bibit
‘radikal’ pertama kali yang pernah terjadi dalam Islam, bahkan ini dilakukan
kepada Nabinya sendiri. Sejarah ini kemudia berkebang hingga masa-masa Khulafa’ur Rasyidin yang kemudian dikenal
dengan istilah khawarij. Tindakan
kelompok khawarij ini menjadi catatan sejarah kelam yang pernah terjadi di
tubuh Islam. Siapa itu khawarij ? dalam
pandangan Abdu Al-Karim Al-Syahrastani khawarij
adalah setiap orang yang membelot dari imam atau pemimpin yang telah disepakati
bersama-sama.[2]
2.
Radikalisme di Era Utsman bin Affan
Jumat, dzulhijjah
35 H. Ketika khalifah Utsman sedang membaca Al-Qur’an di dalam biliknya, para
khawarij datang dengan pedang tajam yang tengah mereka siapkan. Salah satu dari
mereka dengan lantang berkata “diantara aku dan engkau ada kitabullah” sambil menebaskan
pedangnya ke arah khalifah Utsman. Sang Khalifah menangkis dengan tangannya
hingga tangannya terbabat putus. Darah berceceran mengenai mushaf yang berada
pada Khalifah tepat mengenai firman Allah SWT yang berbunyi : Maka Allah akan
memeliharamu dari mereka, dan dia yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Amr
bin Al-Hamq lompat ke atas tubuh Khalifah Utsman dan mendudukinya sembari
menghujamkan senjata sebanyak tujuh kali kepada sang khalifah. Ia berkata “satu
kali untuk Allah, sedangkan yang ke-enam adalah pelampiasan dendam yang
bergejolak di rongga dadaku”.[3]
Sang Khalifah pun
wafat ditangan orang yang juga memiliki aqidah yang sama, namun karena beberapa
faktor kemudian ia menjadi radikal dan berbuat sadis, bahkan itu dilakukan
kepada saudara muslimnya sendiri.
3.
Radikalisme di Era Ali bin Abi Thalib
Pada masa
kekhalifahan Ali bin Abi Thalib pun terjadi permasalahan yang sama. Khalifah ke
empat ini juga dibunuh dengan cara tragis di tangan kelompok khawarij. disaat
sang Khalifah melakukan rutinitas paginya untuk membangunkan orang-orang
muslim. Abdurrahman bin Amr atau yang lebih dikenal dengan nama Ibnu Muljam,
bersama-sama sahabatnyanya yang bernama Syabib. Mereka berdua telah mengatur
strategi untuk membunuh Khalifah Ali. Pagi itu, sebelum sang khalifah beranjak
jauh dari rumahnya. Syabab menebaskan pedang kepada khalifah Ali. Sang khalifah
pun terjatuh, lalu Ibnu Muljam menyusul yang juga menebaskan pedangnya kepada
khalifah hingga mengenai tengkuknya. Hingga darah membasahi janggutnya. Ibnu
Muljam berteriak “tidak ada hukum kecuali milik Allah, bukan milikmu atau milik
sahabatmu”. Ia melanjutkan ucapannya yang disambung dengan mengutip salah satu
ayat Al-Qur’an : “Dan diantara manusia ada yang menjual nyawanya mencari
keridhaan Allah dan Allah Maha lembut kepeda hamba-hamba-Nya”.[4]
Para kelompok ini
nampaknya tidak segan menggunakan ayat-ayat Al-Qur’an untuk berbuat radikal dan
kekejaman. Tentu saja hal ini sangat jauh dari ajaran agama. Kenapa hal ini bisa
terjadi ? nampaknya salah satu faktor yang diungkap Gus Dur di atas adalah
benar. Hal ini juga pernah di tulis oleh Dr. K.H. Ahsin Sakho Muhammad dalam bukunya yang berjudul:
Keberkahan Al-Qur’an, beliau juga menyebut salah satu sebab orang bisa berbuat
ekstrim dengan membawa dalih agamanya adalah karena ada ambisi pribadi untuk
membentuk satu pemahaman keagamaannya sendiri. Pemahaman yang salah atau
ekstrim dalam memahami teks-teks Al-Qur’an dan hadis dapat memicu seseorang
untuk berbuat radikal.[5]
Sehingga mereka kerap menginterpretasikan Al-Qur’an sesuai dengan kehendanya
mereka.
2.2 Sejarah Radikalisme Agama
Di Indonesia
Sejak awal kemerdekaan,
ada beberapa kelompok yang menentang Indonesia menjadi negara dengan asas
nasionalisnya.
Yaitu kelompok komunis dan kelompok Islam puritan, atau Islam fundamentalis,
namun pembahasan kali ini akan penulis fokuskan pada sejarah pemberontakan yang
dilakukan oleh kelompok Islam fundamentalis yang menginginkan Indonesia menjadi
Negara Islam.
Mereka kaum fungdamentalis berpendapat bahwa nasionalisme lebih
cenderung dengan negara sekuler. Karena alasan inilah kemudian muncul keinginan kuat mereka menghendaki Indonesia menjadi Negara
Islam (1949). Gerakan ini dipelopori oleh SM.
Kartosoewirjo. Kartosoewirjo adalah Orang yang pernah memiliki kedekatan dengan
Ir. Soekarno, bahkan Bung Karno pernah menyebut bahwa Kartosoewirjo sebagai
teman makan dan mimpinya. Bung Karno dan Kartosoewirjo sebenarnya banyak
memiliki kesamaan. Sama-sama orang Jawa Timur, pernah belajar dibawah asuhan
Tjokroaminoto, dan juga pernah aktif di Jong Java,[6]
namun karena adanya perbedaan ideologi diantara mereka membuat keduanya
memiliki jalan yang berbeda. Berbagai upaya pemerintahan Bung Karno mengajak
RM. Kartosoewirjo kembali kepangkuan ibu pertiwi. Namun bung Karno tidak dapat
mengubah haluannya. (19)
Berkat kerja keras dari
TNI, akhirnya gerakan ini dapat dilumpuhkan. Setidaknya ada beberapa agresi
besar yang cukup menguras tenaga TNI untuk melawan gerakan ini. Di Jawa Tengah
misalnya, pada Januari 1950 pemerintah RI melakukan operasi kilat yang disebut
dengan gerakan banteng negara di bawah pimpinan Letnan Kolonel Sarbini. Di
daerah Kudus dan Magelang pada Desember 1951, untuk menumpas gerakan ini
pemerintah RI melakukan operasi Merdeka Timur yang dipimpin oleh Komandan
Brigade Pragolo Letnan Kolonel Soeharto. Di Sulawesi Selatan, pemerintah RI
melakukan Operasi Militer pada Februari 1965 gerakan ini-pun juga dapat
dilumpuhkan. Pada tahun yang sama,
Pola
Radikalisme dan pemanfaat dunia maya
Setidanya penulis akan
memetakan dua pola umum kejahatan yang kerap terjadi di dunia maya. Diantaranya adalah sebagai
berikut :
1.
Kejahatan Siber Secara Umum
Dunia maya sebenarnya tidak lebih dari sebuah alat.
Baik buruk, positif negatif, bermanfaat dan tidaknya tergantung di tangan siapa
alat tersebut berada. Namun belakangan ini nampaknya fungsi dunia maya telah
mengalami pergeseran yang luar biasa. Pergeseran ini terjadi dikarenakan
semakin kompleksnya permasalahan yang kerap terjadi di tengah masyarakat. Di
tambah lagi, seiring berjalannya waktu pengguna media sosial semakin hari
semakin bertambah. Masyarakat dengan berbagai pola hidup dan gaya berpikir yang
berbeda semua dapat memanfaatkan dunia maya sebagai alat berinteraksi.
Banyak orang beranggapan bahwa di dunia
maya mereka dapat bebas mengekspresikan rasa emosinya, kekesalan kepada orang
lain, kepada kelompok-kelompok tertentu, atau melakukan kritik keras kepada
pemerintah. Namun banyak yang tidak menyadari, walaupun kita hidup dalam iklim
demokrasi bukan berarti kita akan bebas melemparkan kritik kepada siapa saja.
Karena sesungguhnya kebabasan yang kita miliki itu dibatasi dengan kebebasan
orang lain.
Tak jarang rasa emosi sesaat yang
ditumpahkan di dunia maya berujung pada proses hokum. Dilansir dari sumber nasional.ekozone.com,
Sejak pertengahan 2017 hingga Desember 2018, ada 3.884 konten hoaks dan ujaran
kebencian disebar di media sosial.[7] Yang
lebih memilukan lagi adalah Negara Indonesia menduduki nomor dua dunia setelah
Jepang yang memiliki kasus terbanyak tentang kejahatan siber.[8] Tak
hanya itu, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) yang merinci
terdapat 800 ribu situs penyebar hoaks di internet yang telah diblokir
sepanjang tahun 2015 hingga saat ini. Belum lagi hoax, ujaran kebencian dan kejahatan siber lain yang belum
terungkap. Hal ini kemudian menjadi permasalahan yang serius yang harus
dicarikan duduk solusinya.
2. Pola Radikalisme Agama di Dunia Maya
Sebelum
kita melawan kelompok atau oknum yang berbuat radikal mengatas-namakan agama,
hal yang tak kalah penting yang harus kita pahami adalah mengenal proto type pergerakan mereka. Berikut
penulis akan mencoba mengurai bagaimana pola radikalisme agama yang kerap
terjadi di lingkup dunia virtual yang kian hari kian menguat. Walaupun pola ini
tidak bisa dikatakan sebagai rumus baku, namun setidaknya kita dapat
mengidentifikasikan dan mengenal bagaimana mereka melancarkan aksinya di ruang
yang tak terbatas ini. Adapun beberapa pola yang sering mereka gunakan diantaranya
adalah sebagai berikut:
1. Menjadikan Agama Sebagai Alat Propaganda
2. Menjadi Oposisi Pemerintah
Dalam berdemokrasi, kritik Dan saran merupakan hal biasa. Kita juga
memahai bersama bahwa pemerintahan bukanlah lembaga yang suci tanpa cela. Ada
sela-sela lain yang dilakukan pemerintah dan memang itu butuh untuk dikritisi.
Namun demikian, banyak juga hal-hal baik yang tengah dikerjakan oleh pemerintah
yang harus kita berikan apresiasi.
Apresiasi
atau pengakuan keberhasilan kinerja pemerintah nampaknya tidak ada dalam kamus
kelompok fundamentalis ini. Mereka menjadika pemerintah sebagai sasaran kritik,
bahkan bahan bully dan caci maki. Apapun yang dikerjakan oleh pemerintah adalah
hal yang salah.
3. Bekerja dalam kelompok
Telah disebutkan di bagian atas bahwa totalitas dan
loyalitas mereka dalam memainkan propaganda agama dengan memanfaatkan dunia
maya patut diacungi jempol. Tidak jarang mereka menjalankan aksinya dengan
berkelompok. Dalam kelompok ini kemudia mereka membagi tugas pokok dan
fungsinya secara masing-masing. Ada yang bertugas menjadi konten creator (tim
kreatif), produksi naskah (pembuat narasi berupa teks hoax yang siap disebarkan
di dunia maya), produksi video (membuat konten berupa video), produksi gambar (pembuat
gambar sarkastik, bisa berupa meme, komik, dan lain sebagainya). Yang tak kalah
penting adalah tim pembagi. Dimana tim ini bias terdiri dari 5 sampai dengan 10
orang yang memiliki banyak akun dan bertugas men-share ke dunia maya.
4. Provokatif
Kelompok ini biasanya senang sekali melakukan
provokasi di media sosial. Contoh kongkrit yang dapat kita lihat adalah tentang
kasus yang baru-baru terjadi. Yaitu antara masyarakat Papua yang disinyalir
sempat ada friksi dengan masyarakat Jawa Timur, tepatnya di Malang dan
Surabaya. Kita sebagai kaum santri tentunya prihatin atas apa yang terjadi di
antara saudara kita saat itu, tetapi tidak demean mereka kaum fundamentalis,
mereka nampaknya sangat menikmati konflik yang sedang terjadi. Saat pihak yang
lain ingin segera kasus ini selesai dengan damai, justru kelompok ini berusaha
untuk membuat suasana semakin memanas dengan komentar-komentar di dunia maya yang
sebenarnya sangat tidak penting sama sekali. Berikut penulis tampilkan gambar
hasil screen shot dari sebagian komentar mereka :
5.
Menggunakan Fake
account (akun palsu)
Saat ini yang menjadi salah satu kelemahan dunia maya
adalah diantara pengguna media sosial satu dengan pengguna media sosial yang
lain belum tentu saling mengenal. Bahkan ada juga sebagian pengguna menggunakan
akun palsu atau akun bodong. Dengan
tujuan apa ? agar mereka secara leluasa dapat berkomentar atau memposting
sesuatu yang mereka kehendaki. Nampaknya hal ini juga sering dilakukan oleh
kelompok radikal untuk membuat polusi di dunia maya semakin memburuk. Pola ini
tentu sangat meresahkan, karena dengan akun palsu tersebut mereka sering
menggunakannya untuk mengunggah isu-isu yang berbau SARA, propaganda
mengatasnamakan agama, kritik membabi buta terhadap pemerintah, atau
meninggalkan komentar-komentar yang kerap membuat orang lain geram. Baik di
facebook, instagram, maupun twitter.
6.
Hit And Run
Istilah hit and run adalah sebuah istilah yang kerap
dipakai di jual beli online. Apa itu hit and run ? Hit and Run merupakan sebuah
idiom yang dapat diartikan secara kasar adalah sebagai berikut: Habis memukul
lalu pergi atau tabrak lari. Dalam istilah dunia maya, 'hit' berarti `click`,
artinya meng-klik suatu link 'run' artinya melarikan diri. Dengan kata
lain orang tersebut main-main saja meng-klik suatu barang yang dijual
seolah-ola tertarik untuk membeli, tapi kemudian menghilang tanpa ada
kabar.
Pola yang mirip seperti di atas sering dipakai oleh
kelompok radikal saat di dunia maya. Mereka meninggalkan komentar yang
provokatif, SARA, ataupun sarkastik kemudian dengan entengnya melenggang
kangkung meninggalkan kolom komentar di laman fanspage. Fanspage yang kerap
menjadi sasaran serang adalah fanspage kaum moderat. Seperti NU Online, duta
Islam, atau Fanspage-fanspage yang berafiliasi kepada Nahdlatul Ulama.
Setelah banyak mendapatkan komentar ataupun sanggahan
dari akun lainnya. Notifikasi pemberitahuan-pun dinonaktifkan. Tujuannya apa ?
Tidak lain hanya ingin membuat rusuh dan memberikan mindset kepada netizen bahwa ternyata ada banyak orang (melalui
akun media sosial) yang tidak senang dengan fanspage-fanspage yang dikelolah
oleh kaum moderat. Padahal bisa jadi
pelaku hanya satu dua orang atau hanya beberapa kelompok yang bekerja
secara terstruktur, sistematis dan masif.
7.
Bekerja Tanpa Memandang Objek Sasaran
Pola lain yang dimiliki oleh kelompok radikal dalam
dunia maya adalah mereka akan melakukan serangan kepada siapapun yang menjadi
sasaran tanpa pandang bulu. Entah itu Ulama, Kyai, Guru, bahkan dalam hal ini
presiden sekalipun kerap menjadi bahan cacian mereka di dunia maya. Tentu saja
hal ini sangat jauh dari etika santri. Namun itulah kenyataannya. Dalam
beberapa kasus yang pernah terjadi mereka dengan mudah menuduh siapapun yang
tidak sepemahaman dengan pola pikir mereka dengan sebutan yang beraneka ragam,
dari sebutan antek asing, antek PKI, bahkan sampai dengan melabeli orang lain
dengan sebutan kafir.
Karakter-karakter
seperti ini tentu jauh dari ajaran Islam, apa lagi dengan mudahnya menyebut
orang sesama muslim dengan sebutan kafir. Padahal perilaku yang demikian
memiliki konsekuensi yang sangat besar. Dalam kitab Riyadhus Sholihin karya Syaikh Nawawi Al-Bantani disebutkan.
Rasulullah SAW bersabda : barang siapa yang memanggil orang lain dengan sebutan
kafir, atau menyebut orang lain sebagai musuh Allah, padahal apa yang
sebenarnya yang dikatakan tidak benar, maka kekafiran itu kembali kepada
dirinya sendiri (Muttafaqun Alaih)[9].
Upaya Penanganan Radikalisasi Dalam Lingkup Media Sosial Yang Kian
Menguat
Setelah kita
melihat beberapa pola pergerakan radikalisme yang berkedok agama di dunia maya,
di media sosial khususnya. Tentu ini menjadi hal yang sangat mengkhawatirkan.
Mau tidak mau, suka atau tidak, kita sebagai kaum santri harus bergerak untuk
menekan perkembangan mereka. Walaupun menghilangkan mereka adalah sesuatu hal
yang mustahil. Mengingat hal tersebut sudah ada abad-abad tahun lalu dan terus
hidup hingga saat ini. Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mereduksi
ataupun melawan gerakan mereka penulis akan mencoba mengurainya sebagai berikut
:
1.
Mengadakan pelatihan jurnalistik dan media sosial
Para alumni
pesantren, atau yang tergabung dalam organisasi sosial keagamaan seperti :
IPNU-IPPNU, Ansor, Banser, ataupun Lembaga Dakwah dapat mengadakan pelatihan
jurnalistik dan media sosial. Tujuannya tidak lain adalah untuk membangun
jaringan dan pembekalan kepada para anggota. Bagaimana agar Organisasi tersebut
dapat meliput dan mendokumentasikan kegiatan-kegiatan sosial-keagamaan yang dilaksanakan di daerahnya masing-masing.
Kemudian, hasil dari dokumentasi tersebut (bisa berupa video, foto, ataupun
teks berita) dapat disosialisasikan di media sosial. Agar banyak pengguna media
sosial tahu bahwa kaum santri juga aktif dakwah di lingkup lingkungannya
masing-masing. Tidak menutup kemungkinan kegiatan yang diadakan akan
menginspirasi alumni pondok pesantren di daerah lain untuk melakukan hal yang
sama. Dengan begini, harapannya dakwah muslim moderat semakin meluas dan terus
berkembang.
Publikasi ini
dibangun agar polusi radikalisme di dunia tidak kian mendominasi dan bertebaran
di jagad maya. Dengan adanya konten-konten positif yang demikian, sumbangsih
meramaikan hal-hal positif di media sosial adalah upaya mereduksi isu-isu SARA
dan radikalisme yang ada di dunia virtual tersebut.
2.
Membentuk tim Cyber
Dari hasil pelatihan yang telah dilaksanakan hal ini
kemudian dapat ditindaklanjuti dengan membentuk tim cyber media sosial. Karena
jika bekerja mengandalkan kekuatan diri sendiri atau individual hasilnya tidak
akan maksimal. Ide pun terbatas, dan juga yang tidak kalah penting ketika
bekerja secara mandiri tentu akan menguras banyak energi dan pikiran. Namun
berbeda jika bekerja melalui kelompok atau tim.
Sudah menjadi rahasia umum, mereka kelompok radikal
memiliki tim yang bekerja secara maksimal dan totalitas. Hal ini kemudian
menjadikan mereka seakan-akan kuat di lingkup dunia maya. Padahal belum tentu
mereka kuat di dunia nyata. Militansi yang demikian patut kita tiru, dengan
metode ATM (amati, tiru, dan modifikasi). Dari tim yang telah terbentuk kita bisa dibagi
tugas pokok dan fungsinya masing-masing.
Mekanisme kerja tim tentu disesuaikan dengan
kebutuhan. Karena setiap daerah memiliki ke-khas-an tersendiri dan tentu memiliki SDM yang berbeda-beda. Dari
tim itu bisa membuat website, channel youtube, fanspage atau laman lain yang
berkaitan dengan dunia maya. Melalui inilah kemudian konten-konten yang
diproduksi oleh tim dapat disebarluaskan. Entah itu video, foto, tulisan, komik
edukatif, gambar, pamflet, dan lain sebagainya. Pola ini memang sangat umum
namun sangat efektif untuk digunakan.
3.
Bersinergi Dengan Lembaga Dakwah
Sinergitas dengan lembaga ataupun banom (badan otonom)
adalah hal yang tak kalah penting. Dalam hal ini yang dapat dijadikan sebagai role model adalah organisasi sosial
keagamaan sebagaimana Nahdlatul Ulama. Dalam organisasi Nahdlatul Ulama ada
banyak badan otonom dan juga lembaga-lembaga. Salah satunya adalah Lembaga
Dakwah Nahdlatul Ulama. Kenapa yang dipilih adalah lembaga dakwah ? karena dari
sini kita dapat membuat konten-konten dakwah. Dengan menjadikan
muballigh-muballigh dari lembaga dakwah tersebut sebagai kartu AS untuk
dijadikan konten sebagai pendakwah virtual melalui yotube yang kemudian dapat
disebarluaskan melalui web-web lainnya seperti Instagram, Facebook, Dan lain
sebagainya.
Di lembaga ini biasanya juga banyak guru-guru agama
Islam. Jika materi-materi yang disampaikan dapat menyesuaikan dengan materi dan
SK-KD yang ada di sekolah SMP ataupun SMA, hal ini tentu sangat bagus sekali.
Karena Islam berhaluan keras kerap menjadikan anak-anak pelajar, khususnya
siswa-siswi yang ada di SMP dan SMA sebagai objek mereka dalam recruitment kader dan meluaskan
jaringan. Dari sini kemudian para guru dapat memberikan tugas kepada anak murid
agar meng-akses channel youtube dan membuat resume
(rangkuman) atas materi (sesuai dengan SK-KD mereka) yang disampaikan para
muballigh di video youtube tersebut. Dan tentu saja guru harus memberikan
instruksi agar para siswa dapat mensubscribe (berlangganan) channel yang sudah
dibuat oleh tim, dalam hal ini adalah tim cyber media sosial yang dikelolah
oleh muslim moderat.
Hal ini penting dilakukan karena anak muda di era saat
ini, terutama anak-anak sekolah sering kali menjadikan youtube sebagai kiblat
mereka dalam belajar beragama. Jika kita tidak mengarahkan kepada mereka kepada
siapa mereka harus berkiblat, yang ditakutkan adalah mereka akan salah memilih
kiblatnya dalam beragama. Jika mereka sudah berlangganan dengan channel yang
telah dibuat tersebut, kita bisa secara tidak langsung memberikan
pencerahan-pencerahan tentang bagaimana seharusnya kita beragama dan bernegara,
atau dengan materi-materi yang mengajarkan moderasi.
4.
Membuat Akun Youtube
Youtube adalah sebuah situs web yang khusus untuk
meng-upload atau berbagi video. Youtube memiliki fungsi yang cukup efektif
untuk menyebarkan konten-konten video. Disamping karena kemudahannya untuk di
akses, situs ini juga memiliki jangkauan yang tida terbatas. Melalui akun
youtube, atau yang sekarang lebih dikenal demean istilah channel youtube, konten-konten video yang telah diproduksi dapat
disebarluaskan melalui akun youtube yang sudah dibuat.
Hal ini perlu dilakukan karena mengingat masyarakat
kita adalah masyarakat dengan karakter multi-dimensional dan masyarakat yang
lebih cenderung memilih sesuatu yang instan. Sering kali youtube dijadikan
sebagai rujukan belajar ilmu agama. Ini dilakukan tentu karena berbagai macam
alasan, entah itu karena faktor kesibukan sehingga tidak memiliki waktu untuk
belajar agama secara langsung atau karena faktor kemudahan yang disuguhkan oleh
internet sehingga banyak yang memilih internet sebagai alternatif media untuk
belajar. Yang menjadi permasalahan selanjutnya adalah, di youtube ini siapapun
bias membuat konten video. Dan pada kenyataannya mereka kelompok fundamentalis
telah banyak memanfaatkan youtube sebagai salah satu strategi dakwah mereka.
Jika kita sebagai muslim moderat memilih apatis dan stagnan tida menjadikan
internet sebagai lahan dakwah, tentunya lahan ini akan semakin didominasi oleh
mereka kaum fundamentalis.
[1] Syaikh-Ul-Islam DR. Muhammad Tahir-Ul-Qardi, Fatwa Tentang Terorisme
dan Bom Bunuh Diri, penj:Yudi Wahyudin, Riswan Kurniawan
(Jakarta:LPPI,2014)hal.294
[2] Ibid, hal.283
[3] Dr.Musthafa Murad, Kisah Hidup Ustman bin Affan, (Jakarta: Daar Al-Fajr,2007)hal.9-10
[4]Dr.Musthafa Murad, Kisah Hidup Ali bin Abi Thalib, (Jakarta: Daar
Al-Fajr,2007)hal.244-245
[5] Dr. KH. Ahsin Sakho
Muhammad, Keberkahan Al-Qur’an: Memahami Tema-Tema Penting Kehidupan dalam
Terang Kitab Suci, (Qaf, 2017)hal.
[6] Ade Firmansyah, SM. KARTOSOEWIRDJO:Biografi singkat 1907-1962, (Jokjakarta: Garasi,2011)hal.105
[7] Sarah Hutagaol, “Berapa
Jumlah Hoaxs Ujaran Kebencian dari 2017-2018? Berikut Datanya” Nasional.Compas,
Terakhir di Modifikasi pada Januari 15,
2019,
https://nasional.okezone.com/read/2019/01/15/337/2004711/berapa-jumlah-hoaks-ujaran-kebencian-dari-2017-2018-berikut-datanya
[8] Ramadhan Rizki,”Polri: Indonesia Tertinggi
Kedua kejahatan Siber di
Dunia”Cnnindonesia, Terakhir di Modifikasi pada Juli 17, 2018,
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20180717140856-12-314780/polri-indonesia-tertinggi-kedua-kejahatan-siber-di-dunia
[9] Riyadhus Shalihin, Syaikhul Islam Muhyiddin Abi Zakariya Yahya
bin Syarif An-Nawawi(bab: haram seseorang mengatakan kepada sesama muslim “Hai
Orang Kafir”)
Posting Komentar