INTERNALISASI NILAI-NILAI PENDIDIKAN PONDOK PESANTREN UNTUK MEMPERKUAT PENDIDIKAN KARAKTER PADA SEKOLAH FORMAL
Oleh: MN Hidayat
Abstrak
Karakter merupakan suatu nilai fundamental yang dapat membentuk kepribadian seseorang, hal tersebut bisa terjadi baik karena pengaruh keturunan maupun pengaruh lingkungan sekitar. Seseorang dapat dikatakan berkarakter baik apabila dirinya selalu menunjukkan prilaku yang baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan bahkan terhadap bangsa dan negara. Pesantren sebagai penyelenggaraan pendidikan bukan hanya meletakkan pendidikan karakter pada tataran konsep saja, akan tetapi teori tetapi jugadalam bentuk kongkrit, berupa praktek secara langsung. Konsep tersebut sejalan dengan agenda utama pemerintah yang ingin melakukan revolusi mental dengan Peraturan Presiden Nomor 87 tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) pada tiap-tiap satuan pendidikan. Oleh karena itulah, perlu adanya internalisasi nilai-nilai pendidikan pondok pesantren untuk memperkuat pendidikan karakter pada satuan-satuan pendidikan.
Kata kunci: pondok pesantren, internalisasi nilai, pendidikan karakter.
Pendahuluan
Pondok Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia yang tumbuh bersamaan dengan masa penyiaran Agama Islam (Mushollin: 2014). Lazimnya, pondok pesantren didirikan oleh ulama/kyai dengan kemandirian, kesederhanaan dan keikhlasan. Sejarah tidak mencatat secara pasti kapan pesantren itu pertma kali didirikan,akan tetapi sebagai indikasi mulai adanya pesantren pada awal abad ke-17 (1619) terdapat pesantren Jawa yang didirikan oleh sultan Maulana Malik Ibrahim di Gresik Jawa Timur (Mahfudz: 1999).
Sejak diperkenalkan, lembaga tempat para kaum bersarung (baca: santri) menimba ilmu tersebut, telah mengalami banyak perubahan dan memainkan peran yang sangat signifikan bagi masyarakat Indonesia, salah satunya adalah menanamkan karakter yang baik (baca: akhlakul karimah) pada setiap santrinya. Hal ini disebabkan karena di pesantren, tidak hanya terdapat sarana dan praktek pendidikan, akan tetapi juga menanamkan sejumlah nilai atau norma. Nilai-nilai tersebut merupakan hasil dialektika yang dinamis antara nilai-nilai keagamaan yang bersumber pada teks yang diajarkan pada kitab-kitab kuning dan kekokohan prinsip para pengasuh/kyainya.
Sistem pendidikan di pesantren mengadopsi nilai-nilai yang berkembang di masyarakat. Keadaan ini menurut Wahid (1999) disebut dengan istilah subkultur. Ada tiga elemen yang mampu membentuk pesantren sebagai subkultur : 1) pola kepemimpinan pesantren yang mandiri, tidak terkooptasi oleh negara. 2) kitab-kitab rujukan umum yang selalu digunakan. 3) sistem nilai yang digunakan adalah bagian dari masyarakat luas (Wahid, 1999: 14). Tiga elemen inilah yang menjadi ciri utama dalam perkembangan pendidikan di pesantren. Disamping itu, Mastuhu (1994) dalam Dahlan (2016) mengemukakan bahwa pendidikan karakter pada pondok pesantren memiliki beberapa kelebihan yaitu: 1) menggunakan pendekatan holistik dalam sistem pendidikan, 2) memiliki kebebasan terpimpin, 3) berkemampuan mengatur diri sendiri (mandiri), 4) memiliki kebersamaan yang tinggi, dan 5) mengabdi pada orangtua dan guru. Karakter-karakter itulah yang nampaknya mulai luntur dan tidak dimiliki oleh mayoritas generasi muda saat ini. Hal itu diperparah dengan sistem pendidikan formal yang hanya berorientasi pada aspek keilmuan dan kecerdasan IQ peserta didik, bukan pada nilai moral mereka. Pendidikan dikatakan sudah berhasil jika peserta didik sudah mencapai nilai atau lulus dengan nilai akademik memadai/di atas KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal). Sehingga, pembentukan karakter dan nilai-nilai budaya bangsa di dalam diri peserta didik semakin terpinggirkan. Oleh karena itulah, pemerintah mempunyai agenda besar dengan tag-line gerakan revolusi revolusi mental yang bertujuan untuk membentuk generasi-generasi muda yang berkarakter mulia. Hal tersebut dituangkan dalam Peraturan Presiden Nomor 87 tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter (PPK).
Pembahasan
A. Pendidikan Karakter
Secara terminologis, menurut Simon Philips dalam Masnur (2011: 70), karakter adalah kumpulan tata nilai yang menuju pada suatu sistem, yang melandasi suatu pemikiran, sikap, dan perilaku yang ditampilkan.. Hidayatullah (2010: 9) menjelaskan bahwa secara harfiah, karakter adalah kualitas atau kekuatan mental atau moral, akhlak atau budi pekerti individu yang merupakan kepribadian khusus yang membedakan dengan individu lain. Secara etimologis, kata karakter berarti tabiat, watak, sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan orang lain (Poerwadarminta, 1996: 512). Dari beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa karakter adalah watak, sikap, akhlak dan budi pekerti yang dimiliki oleh setiap individu yang membedakan dirinya dengan orang lain. Sehingga, orang disebut berkarakter apabila dia dapat merespon segala situasi secara bermoral, yang mewujudkannya dalam bentuk tindakan nyata melalui tingkah laku yang baik.
Dari konsep karakter inilah lalu muncul istilah pendidikan karakter. Dasar hukum pendidikan karakter tersebut tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 87 tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter (PPK). PPK menjadikan pendidikan karakter sebagai platform pendidikan nasional untuk membekali peserta didik sebagai generasi emas tahun 2045 dengan jiwa Pancasila dan karakter yang baik guna menghadapi dinamika perubahan di masa depan (Pasal 2). Perpres ini menjadi pijakan yang kuat untuk kembali memposisikan pendidikan karakter sebagai nafas utama dan ruh dalam penyelenggaraan pendidikan di Indonesia. Menurut Perpres tersebut, PPK didefinisikan sebagai “Gerakan pendidikan di bawah tanggung jawab satuan pendidikan untuk memperkuat karakter peserta didik melalui harmonisasi olah hati, olah rasa, olah pikir, dan olah raga dengan pelibatan dan kerja sama antara satuan pendidikan, keluarga, dan masyarakat sebagai bagian dari Gerakan Nasional Revolusi Mental (GNRM)” (Pasal 1, ayat 1). Dalam Perpres tersebut, dijelaskan pula bahwa fokus PPK adalah nilai-nilai luhur yang terkandung dalam Pancasila. “PPK dilaksanakan dengan menerapkan nilai-nilai Pancasila dalam pendidikan karakter terutama meliputi nilai-nilai religius, jujur, toleran, disiplin, bekerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan bertanggungjawab” (Pasal 3). Secara garis besar, nilai-nilai tersebut terangkum dalam lima nilai utama yaitu religius, nasionalis, mandiri, gotong royong, dan integritas.
Kurikulum 2013 sebagai referensi utama proses pembelajaran pada satuan pendidikan, perlu untuk mengintegrasikan Penguatan Pendidikan Karakter (PPK). Integrasi tersebut bukan hanya sebagai program tambahan atau sisipan, melainkan sebagai cara mendidik dan belajar bagi semua pelaku pendidikan di setiap satuan pendidikan.
B. Pondok Pesantren
Kata pesantren barasal dari kata santri, dengan awalan pe- dan akhiran -an, yang mempunyai arti tempat tinggal santri (Dhofier 1985:18). Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dijelaskan bahwa pesantren adalah asrama tempat santri atau tempat murid-murid belajar mengaji. Sementara, Wahid (1999) memberikan gambaran bahwa “pondok pesantren mirip dengan akademi militer atau biara (monestory, convent) dalam artian, mereka yang berada di sana mengalami suatu kondisi totalitas.
Sistem dan metode pembelajaran dan pengajaran yang digunakan di beberapa pesantren di Nusantara masih sangat sederhana. Biasanya para murid (baca: santri) duduk di lantai, menghadap sang guru (baca: ustadz), dan belajar mengaji bersama. Proses belajar mengajar tersebut biasanya dilaksanakan pada malam hari. Hal ini disebabkan Karena pada siang hari mereka (para santri) harus melakukan aktivitas lain.
Secara garis besar, sebenarnya ada dua sistem pendidikan yang diaplikasikan dalam beberapa pondok pesantren. Sistem sorogan, yang sering disebut sistem individual, dan sistem bandongan atau wetonan yang sering disebut kolektif. Dengan sistem sorogan tersebut, setiap santri mendapat kesempatan untuk belajar secara langsung dari kyai atau asisten kyai (baca: badal). Sistem ini biasanya diaplikasikan untuk mereka yang telah master dalam membaca Al Qur’an dan kitab – kitab islam klasik (baca: Kitab Kuning). Dengan sistem ini para santri dituntut dan benar-benar diuji kesabaran, kerajinan, ketaatan dan disiplin pribadi mereka.
Metode utama sistem pembelajaran dan pengajaran yang diterapkan di lingkungan pesantren ialah sistem bandongan atau wetonan. Dalam sistem ini, sekelompok murid mendengarkan seorang kyai atau guru (baca: ustadz) yang membaca, menerjemahkan, dan menerangkan kitab-kitab kuning dalam bahasa Arab.
Selain itu, ada satu hal yang menurut penulis sangat penting yang diajarkan oleh lembaga pesantren dan banyak dikesampingkan oleh lembaga pendidikan lain. Yaitu pendidikan karakter. Bagaimana tidak, pendidikan moral (baca: pendidikan karakter) di sekolah-sekolah formal seolah hanya menjadi selogan dan pemanis bibir saja karena yang menjadi tujuan utama dari sekolah-sekolah formal adalah memiliki lulusan yang nilai akedemiknya tinggi, bukan lulusan yang akhlaknya mulia. Sementara di pesantren, pendidikan karakter sangat ditekankan keberadaannya. Misalnya, bagaimana harus bersikap kepada kyai, ustadz, sesama santri dan sebagainya. Bahkan dalam setiap tingkatan, kitab-kitab kuning yang membahas masalah karakter tersebut (misalnya: adabul murid ma’a as-Syaikh, Ta’limul Muta’allim, dsb )hukumnya wajib dipelajari oleh para santri. Selain itu, penanaman karakter pada santri juga nampak pada seluruh kegiatan keseharian santri.
1. Nilai religius
Nilai tersebut nampaknya paling dominan dan terdapat pada hampir seluruh kegiatan keseharian santri. Bahkan dari mulai mereka bangun tidur sampai tidur lagi. Lazimnya, para santri mengawali kegiatan dengan melaksanakan qiyamul lail, dilanjutkan dengan sholat shubuh berjama’ah dan kajian kitab kuning secara wetonan. Kajian-kajian tersebut selalu dilaksanakan setiap ba’da sholat 5 waktu. Di malam hari, santri wajib mengikuti madrasah diniyyah yang diselenggarakan oleh pesantren. Melalui kegiatan-kegiatan itulah para santri ditempa untuk menjadi insan-insan yang religius.
2. Nilai Nasionalisme
Nilai ini bisa dilihat dari beberapa kegaiatan santri, misalnya ketika kegiatan masa pengenalan kehidupan pesantren yang didalamnya diselipkan materi-materi yang terkait dengan wawasan kebangsaan. Adapun kegiatan lain yang bisa menumbuhkan nilai nasionalis adalah pelaksanaan peringatan beberapa hari besar nasional, apel atau upacara untuk memperingati hari ulang tahun kemerdekaan, dan beberapa kegiatan yang di dalamnya mengajak santri untuk mencintai kearifan budaya lokal.
3. Nilai Kemandirian
Nilai tersebut jelas secara eksplisit ditanamkan kepada setiap santri yang mengenyam pendidikan di pesantren. Sejak santri diserahkan oleh orang tuanya kepada kyai, maka sejak saat itulah seorang santri harus belajar hidup mandiri. Mereka harus mencuci baju sendiri, masak sendiri, mengelola uang sakunya agar cukup digunakan dalam periode tertentu, dan disiplin dalam mengatur waktu. Dari situlah seorang santri dilatih untuk menjadi pribadi-pribadi mandiri, tahan banting, dan memiliki etos kerja yang baik.
4. Nilai Gotong-Royong
Nilai inilah yang mungkin saat ini sudah jarang diketemukan, apalagi di kota-kota besar. Nilai ini mulai terkikis oleh kemajuan zaman dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Individualisme saat ini sedang berkembang pesat hingga mengalahkan nilai gotong royong yang merupakan salah satu karakter bangsa Indonesia.
Di pesantren nilai-nilai gotong royong diajarkan dan dipraktekkan secara konkrit oleh para santri dalam beberapa aktivitas keseharian mereka. Kegiatan-kegiatan tersebut antara lain kerja bakti bersama (di pesantren lebih dikenal dengan istilah ro’an), musyawarah untuk membahas suatu masalah (baca: batsul masail), dan kegiatan lain seperti terbentuknya komunitas-komunitas santri.
5. Nilai Intregitas
Nilai ini bertujuan untuk menyelaraskan pikiran, perkataan dan perbuatan yang merepresentasikan perilaku bermoral yang kebenarannya dapat dipertanggung- jawabkan secara rasional. Nilai ini nampak pada tanggung jawab yang dimiliki oleh para santri. Walaupun tidak diawasi atau tidak diabsen, mereka tetap melaksanakan tugas dan kewajiban mereka seperti, sholat lima waktu, mengikuti pengajian wetonan dan diniyyah, dan kegiatan-kegiatan lainnya.
Disamping penanaman karakter melaui beberapa kegiatan atau aktivitas santri, aspek lain yang sangat berpengaruh terhadap pembentukan karakter santri adalah adanya teladan yang baik dari para pendidik yang ada di pesantren, khususnya kyai. Teladan atau uswatun hasanah merupakan metode yang digunakan oleh Rasulullah dalam menyampaikan ajaran islam kepada manusia. Teladan merupakan metode yang sangat efektif dalam mengajarkan, mendidik, serta mengubah perilaku yang tidak atau belum baik dalam tatanan masyarakat.
C. Internalisasi Nilai-Nilai Pendidikan Pesantren pada Pendidikan Formal
Dua tahun setelah terbitnya Perpres nomor 87 Tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter (PPK), maka seluruh satuan pendidika yang ada di Indonesia harus mengimplementasikan PPK sesuai dengan Perpres tersebut. Salah satu upaya untuk mempercepat implementasi PPK tersebut adalah dengan menginternalisasi nilai-nilai pendidikan pesantren untuk kemudian diterapkan pada satuan pendidikan formal. Hal tersebut bisa dilakukan dengan cara:
1. Menekankan pembiasaan-pembiasaan nilai-nilai karakter yang ada di kehidupan pesantren dalam keseharian sekolah.
1. Nilai Religius
Kegiatan yang mungkin dilaksanakan di satuan pendidikan formal untuk menumbuhkan nilai religius antara lain melaksanakan sholat dhuha sebelum jam belajar dimulai yang dilanjutkan dengan membaca ayat-ayat suci Al Qur’an, berdo’a setiap memulai pelajaran, melaksanakan kegiatan pembinaan keagamaan seminggu sekali, melaksanakan sholat dhuhur berjama’ah, dan melaksanakan peringatan hari besar keagamaan. Kegiatan-kegiatan tersebut bertujuan agar setiap peserta didik memiliki sikap dan perilaku yang taat/patuh dalam menjalankan ajaran agama yang dipeluknya, bersikap toleran, mencintai alam dan selalu menjalin kerukunan hidup antar sesama
2. Nilai Nasionalisme
Ada beberapa kegiatan pembiasaan yang bisa diimplementasikan oleh satuan pendidikan untuk menumbuhkan nilai nasionalisme pada diri peserta didik. Kegiatan tersebut berupa melaksanakan upacara bendera setiap hari Senin dan peringatan hari besar nasional, menyanyikan lagu kebangsaan dan lagu wajib nasional sebelum kegiatan belajar, mendekorasi kelas dengan tema cinta tanah air, memakai batik atau pakaian tradisional satu pekan sekali, dan memberikan materi-materi yang terkait dengan wawasan kebangsaan pada saat masa pengenalan lingkungan sekolah. Dengan kegiatan-kegiatan tersebut diharapkan peserta didik dapat mengapresiasi, menjaga, mengembangkan kekayaan budaya bangsa sendiri.
3. Nilai Kemandirian
Ada beberapa nilai yang bisa diadopsi dari nilai pendidikan pesantren untuk diimplementasikan pada satuan pendidikan formal. Nilai-nilai tersebut bertujuan untuk menumbuhkan sikap percaya pada kemampuan, kekuatan, bakat dalam diri sendiri, tidak tergantung pada orang lain. Ada beberapa kegiatan pembiasaan yang bisa dilakukan, diantaranya siswa melakukan kegiatan membaca buku (selain buku pelajaran) di pagi hari sebelum pelajaran dimulai, meminta siswa menceritakan secara singkat tentang buku yang dibaca, membersihkan kelas sesuai jadwal yang sudah dibuat, dan mengerjakan tugas-tugas individu.
4. Nilai Gotong-Royong
Ada beberapa kegiatan pembiasaan di pesantren yang bisa diadopsi untuk diterapkan di satuan pendidikan formal agar siswa memiliki kemampuan bekerjasama untuk memperjuangkan kebaikan bersama bagi masyarakat luas, terutama yang sangat membutuhkan, marginal, dan terabaikan di dalam masyarakat. Kegiatan-kegiatan tersebut diantaranya, melakukan piket sekolah secara bersama, melakukan kerja bakti di lingkungan sekolah seminggu sekali, menjenguk teman yang sakit, dan membentuk kelompok-kelompok belajar untuk menyelesaikan tugas-tugas kelompok.
5. Nilai Integritas
Nilai integritas sangat dibutuhkan agar peserta didik mampu menyelaraskan pikiran, perkataan dan perbuatan yang merepresentasikan perilaku bermoral yang kebenarannya dapat dipertanggung- jawabkan secara rasional. Kegiatan pembiasaan yang bisa dilakukan untuk menumbuhkan nilai tersebut antara lain, membuat jam kejujuran siswa, siswa berbaris sebelum memasuki kelas, dan melakukan perlombaan-perlombaan antar siswa maupun antar kelas.
2. Menonjolkan keteladanan orang dewasa di lingkungan sekolah
Seperti halnya di pesantren, dimana kyai dan ustadz selalu memberikan uswatun hasanah kepada para santrinya, maka di satuan pendidikan formal, guru dan para pelaku pendidikan harus mampu memberikan contoh karakter-karakter yang baik kepada para peserta didiknya. Hal ini sangat dibutuhkan, terlebih pada jenjang pendidikan dasar. Pada satuan pendidikan tersebut, peserta didik memiliki kecenderungan untuk menirukan apa yang dilakukan oleh guru atau orang yang lebih tua dari mereka. Bagi mereka, guru adalah pemeran atau aktor moral yang mereka lihat dan ikuti. Oleh karena itu, wajib hukumnya bagi para pelaku pendidikan yang ada di satuan pendidikan formal untuk dapat memberikan uswatun hasanah kepada peserta didik.
Daftar Pustaka
Dahlan, Mukhtar Zaini. 2016. Internalisasi Pendidikan Karakter Perspektif Pesantren. Falasifa, Vol. 7 Nomor 1 Maret 2016. Diakses tanggal 14 Agustus 2018, dari http://portalgaruda.org.
Dhofier, Zamakhsyari. 1985. Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai. Jakarta: LP3ES.
Hidayatullah, Furqon. Pendidikan Karakter Membangun Peradaban Bangsa. Surakarta: Yuma Pustaka.
Mahfudz ,Sahal, MA. 1999. Pesantren Mencari Makna. Jakarta: Pustaka Ciganjur.
Masnur, Muslich. 2011. Pendidikan Karakter Menjawab Tantangan Krisis Multidimensional. Jakarta: Bumi Aksara.
Mushollin.2014. Kurikulum Pondok Pesantren Muadalah. Jurnal Nuansa, Vol. 11 No. 1 Januari – Juni 2014. Diakses tanggal 08 Agustus 2018, dari http://portalgaruda.org.
Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2017 Tentang Penguatan Pendidikan Karakter.
Poerwadarminta. 1996. Kamus umum bahasa indonesia. Jakarta: Balai pustaka.
Wahid, Abdurrahman. 1999. Menggerakkan Tradisi Esai-Esai Pesantren. Yogyakarta: Elkis.
Posting Komentar