Ada seorang santri yang setelah boyong dari pesantren tergolong cukup sukses dalam merintis dan mengelola lembaga pendidikan yang berbasis pondok pesantren, namun ia sangat bisa berfikir lebih terbuka dan lembaga pendidikannya diselaraskan dengan perkembangan zaman. tidak kurang dari dua ribu enam ratus santri putra dan putri yang bermukim di pondok pesantrennya, padahal pondok pesantrennya baru berusia tidak kurang dari 19 tahun. saat ini pondok pesantrennya sedang mempersiapkan lembaga pendidikan perguruan tinggi sebagai program lanjutan setelah para santri merampungkan jenjang aliyah dan SMK.
Selain cukup berhasil dalam mendirikan dan mengelola pondok pesantren ia juga tergolong sangat handal dalam merintis dan mengelola usaha, terbukti ia berhasil mendirikan dua perusahaan penggilingan padi dan sekaligus mengemas beras dalam bentuk kemasan bermerek yang di jual di beberapa toko besar dan beberapa mini market.
Dari sisi keluarga sang santri juga tanpak sangat berhasil, terbukti ia menikahi dua wanita sholihah dan dikarunia 7 anak, 4 laki-laki dan 3 perempuan. bahkan 4 anaknya sudah menempuh pendidikan di pondok pesantren almamaternya dulu.
Akan tetapi, ternyata semua itu tidak menjadikan sang santri yang sudah menjadi kiyai dan Pengusaha ini serta merta menemukan kebahagian hakiki, kedamaian dan ketentraman bathin. hal itu ia rasakan lebih dari 5 tahun. pada mulanya ada sahabatnya yang menyarankan agar ia menikah lagi, setelah menikah lagi dan ia di karuania 2 anak dari istri keduanya, ternyata ia belum juga menemukan dan merasakan kebahagian hakiki, kedamaian dan ketentraman bathinnya.
Pada akhirnya dalam satu renungan malam usai munajat ia menemukan ide cemerlang dan memantabkan hati untuk sowan (berkunjung) ke rumah Kiyai di pondok pesantren tempat ia dulu menimba ilmu yang bermanfaat dan berbarokah. sebetulnya ia adalah salah satu santri yang sangat rajin sowan ke rumah Kiyainya, setidaknya ia masih rutim mengikuti mengajian kitab tafsier Jalalain dan kita Ihya’ Ulumuddin yang diadakan di rumah Kiyainya dua pekan sekali. akan tetapi kali ini keadatangannya kerumah Kiyainya dengan membawa misi khusus dan berniat menumpahkan segala isi hatinya kepada sang Kiyai.
Setelah lebih dari 60 menit menunggu didepan rumah Kiyai dan perasaan yang sangat tidak karuan dan dengan badan sedikit bergetar, pada akhirnya ia dapat bertemu dan mencium punggung dan telapak tangan sang kiyai, ia dipersilahkan masuk keruangan khusus sehingga ia dan sang kiyai hanya empat mata dan duduk dihadapan kiyai dengan hanya menundukkan wajah lesunya.
Tidak ada kata yang terucap, hanya ada suasana hening senyap. dan pada akhirnya sang kiyai memulai perbincangan dengan satu pertanyaan. Tumben, bukan jadwal ngaji sampean kesini?. ia memjawab : Iya Yai. Ada apa?, sang kiyai bertanya lagi. ia menjawab : Ada anu yai. Anu apa?. kiyai bertanya lagi sambil tersenyum. Ayo kopinya diminum keburu dingin, kiyai berusaha mencairkan suasana. Masih merokok atau sudah taubat, kiyai kembali bertanya sambil dihiasai tawa. ia menjawab : sudah berhenti yai, sejak lahir anak pertama. Alhamdulillah...., sukurlah kalau sudah taubat dari rokok, sekarang sudah sama seperti saya, tidak merokok!.
Sang kiyai berkata : Sampean malam ini menginap saja di pondok ya?. ia tidak punya kata lain selain sami’na wa atho’na. kiya berkata lagi : Sampean tidak usah ikut pengajian, dzikiran dan kagiatan pondok lainnya. Sampean hanya tak tugasi “menata sandal di depan masjid pada saat para santri sholat berjamaah”. ia juga tidak punya pilhan kata lain selain Sami’na wa Atho’na. Padahal ia seorang kiyai dengan 2600 santri, juga pengusa beras premium. inilah ciri khas seorang santri, meskipun ia sudah menajdi manusia terhormat dengan titel kiyai dan kaya dengan harta bendanya, namu pada saat dihadapan kiyainya ia tetap seorang “Santri”.
Setelah 5 waktu didapan masjid , menjaga dan menata ratusan bahkan lebih dari seribu pasang sandal-sandal, usai sholat subuh ia di panggil kiyai kerumah beliau. ia diajak sarapan dengan menu sani jagung lengkap dengan urap dan ikan asinya, Sang kiyai berkata : “Sudah, kamu sudah lulus, pagi ini kamu boleh pulang kembali kepada kaluarga dan para santrimu. jagalah ilmu Ikhlas dan Tawadhu’ yang telah kamu serap di depan masjid dengan pelajaran khusus, yaitu menata sandal”.
Tangannya pun meraih tangan kiyai dan mencium punggung dan telapak tangannya disertai dengan tetesan air mata yang deras mengalir, dengan lirih lisannya berucap terima kasih kepada sang kiyai. kemudian dengan berjalan mundur ia meninggalkan sang kiyai yang berdiri tegak dengan tatapan penuh kebahagian berhias senyum nan merekah.
Isak tangis dan derai aira mata sang santri tiada henti meski ia telah meninggalkan parkiran pondok pesantren mengendarai mobil pajeronya .
Sesampai dirumah iapun disambut dengan sangat hangat oleh keluarganya yang dalam 24 jam harap-harap cemas kerena sang imam keluarga di WA dan SMS tidak ada jawaban, di telpon dan VC juga tidak diterima padahal HP aktif. ini semua disebabkan sejak menjalani masa menimba ilmu IKHLAS dan TAWADHU’ di pesatren ia sama sekali tidak menyentuh Hpnya.
eL-Hikmah :
1. Ikhlash adalah puncak dari segala ilmu
2. Tawadhu’ adalah karakter khas seorang hamba, terlebih seorang Santri
3. Tetaplah jadi seorang santri meski sudah maraih derajat luhur dan berjaya dengan kekayaan
4. Rajin sowan dan meminta petunjuk Kiyai agar hidup lebih terarah dan terukur
catatan :
1. Nama kiyai, santri dan pondok pesantren tidak bisa saya sebut karena ada beberapa pertimbangan
2. Kisah ini saya simak dari cerita seorang Kiyai kajian kitab dirumah beliau
3. Saran dan masukan bisa melalui No WA 08125489920
Salam : Saya Santri
Posting Komentar