Khutbah I
اَلْحَمْدُ
لِلّٰهِ الَّذِيْ أَنْعَمَنَا بِنِعْمَةِ الْإِيْمَانِ وَالْإِسْلَامِ.
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلٰى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ خَيْرِ الْأَنَامِ. وَعَلٰى
اٰلِهِ وَأَصْحَابِهِ الْكِرَامِ. أَشْهَدُ أَنْ لَا اِلٰهَ اِلَّا اللهُ
الْمَلِكُ الْقُدُّوْسُ السَّلَامُ وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا وَحَبِيْبَنَا
مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ صَاحِبُ الشَّرَفِ وَالْإِحْتِرَامِ
أَمَّا بَعْدُ، عِبَادَ الرَّحْمٰنِ، فَإنِّي أُوْصِيْكُمْ
وَنَفْسِي بِتَقْوَى اللهِ المَنَّانِ، الْقَائِلِ فِي الْقُرْآنِ العَظِيْمِ:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ
Maasyiral Muslimin rahimakumullah.
Kebanyakan dari kita pernah terlibat masalah utang
piutang. Entah itu dalam skala kecil ataupun dalam skala besar. Utang termasuk
kategori interaksi sosial. Islam menyebutnya sebagai muamalah. Seperti
jual-beli, gadai, sewa-menyewa dan lain-lainya. Ini menandakan bahwa prihal
utang piutang adakah sesuatu yang legal dan diperbolehkan. Dengan catatan,
selama proses terjadinya masih dalam koridor syariat. Utang piutang adalah hal
yang wajar terjadi. Entah itu untuk mengembangkan sebuah usaha ataupun untuk memenuhi
kebutuhan hidup sehari-hari.
Didalam Al-Qur'an yang mulia ada satu ayat
terpanjang, dan ayat tersebut khusus membahas masalah utang piutang. Ayat ini
dapat kita jumpai pada surat al-Baqarah ayat ke 282. Setidaknya ada dua garis
besar yang dibahas dalam ayat ini terkait masalah utang piutang. Pertama, jika
kita melakukan transaksi utang piutang maka hendaklah kita mencatatnya. Entah
itu dalam skup kecil ataupun besar. Adapun bunyi ayatnya adalah sebagai
berikut:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ
Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, apabila
kalian bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah
kalian menuliskannya." (QS. Al-Baqarah:182)
Mencatat hutang dapat menjadi pengingat. Entah itu
untuk orang yang mengutangi ataupun orang yang diutangi. Karena dengan catatan
dapat menjadikan kesaksian menjadi lebih kuat. Dan yang kedua yaitu
mendatangkan dua orang saksi.
وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِنْ رِجالِكُمْ
Artinya: "Dan persaksikanlah dengan dua orang
saksi dari orang-orang lelaki (di antara kalian)." (QS. Al-Baqarah: 282)
Maasyiral Muslimin
rahimakumullah.
Itulah dua hal yang diperintahkan Al-Qur'an ketika
kita akan bertransaksi utang piutang. Yaitu mencatat dan mendatangkan saksi.
Adanya catatan dan juga saksi tentu akan membuat perjanjian dalam utang piutang
menjadi semakin kuat. Al-Qur'an telah mengingatkan kita semua tentang masalah
ini. Tetapi mungkin sedikit sekali yang telah melalukannya. Baik saat berutang
maupun saat memberikan piutang. Padahal dengan ditulis dan didatangkannya saksi
dalam transaksi utang piutang akan meminimalisir terjadinya hal-hal yang tidak
diinginkan.
Utang bukanlah sesuatu yang hina, asal ketika berutang
kita dapat menjaga amanah, menjaga kepercayaan. Saat kita mengatakan "hari
ini dan tanggal sekian aku bayar", jika kita telah mendapat rizki segera
tunaikan apa yang telah menjadi kesepakatan saat berutang. Kita harus menyadari
bahwa saat kita memiliki utang ada hak orang lain yang telah dipinjamkan kepada
kita dalam jangka waktu tertentu. Orang yang mau memberikan pinjaman kepada
kita bukan berarti orang tersebut sudah kaya, bukan berarti orang tersebut
berlebih. Bisa jadi karena orang itu peduli, karena rasa iba dan benar-benar
tulus niat membantu kita. Walaupun kondisinya belum tentu berlebih. Maka saat
telah jatuh tempo apa yang telah disepakati, segeralah tunaikan untuk membayar
utang.
Maasyiral Muslimin
rahimakumullah.
Tak dipungkiri, hutang yang seharusnya mampu menjadi
perekat dalam interaksi sosial, yang seharusnya sebagai transaksi yang baik
karena dalam kategori muamalah, juga mengandung nilai ta'awun,
karena adanya unsur tolong-menolong, dan dapat menjadi media perekat ukhuwah,
justru kerap menjadi akar pemicu merenggangnya sebuah hubungan karena berakhir
tidak menjaga amanah dengan baik. Bahkan hubungan yang terjalin bertahun-tahun
lamanya dapat hancur seketika akibat masalah utang piutang.
Yang sering kita jumpai dalam kehidupan nyata adalah
banyak orang yang berutang, tetapi menunda membayar utangnya pada saat waktu
yang ditentukan telah tiba. Padahal sebenarnya ia dalam keadaan mampu. Dengan
alasan yang beraneka ragam. Entah uangnya untuk ini, uangnya untuk itu dan lain
sebagainya. Atau justru uang yang ada untuk membeli sesuatu yang sifatnya
kebutuhan skunder (dapat ditunda keperuntukannya). Menunda membayar utang
padahal ia mampu untuk membayarnya adalah bentuk dari kedzaliman. Sebagaimana
sabda Baginda Nabi dalam salah satu haditsnya:
مَطْلُ
الغَنِيِّ ظُلْمٌ (رواه البخارى)
Artinya: "Menunda membayar hutang bagi orang
kaya (mampu) adalah kedzaliman." (HR. Bukhari)
Maasyiral Muslimin
rahimakumullah.
Kita harus berhati-hati dalam masalah utang piutang.
Karena ini sangkut pautnya dengan haqqul adami (hak sesama manusia).
Masalah yang berhubungan dengan hak sesama manusia, ia tidak bisa dihilangkan
dengan shalat, tidak juga dengan istighfar, tidak hilang dengan puasa atau doa.
Kecuali hak itu telah ditunaikan kepada orang yang bersangkutan. Berbeda halnya
ketika hal tersebut berhubungan dengan Allah subhanahu wa ta’ala.
Perbuatan maksiat kita misalnya, yang masih memungkinkan diampuni dosanya saat
kita bertaubat atau meminta ampun kepada Allah. Karena beratnya masalah utang,
dalam salah satu hadits nabi dikisahkan bahwa Baginda Nabi Muhammad SAW tidak
mau menshalati jenazah yang masih memiliki tanggungan utang. Sebagaimana hadits
dari sahabat Salamah ibn al-Akwa' berikut:
عَنْ
سَلَمَةَ بْنِ الْأَكْوَعِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ كُنَّا جُلُوسًا عِنْدَ
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذْ أُتِيَ بِجَنَازَةٍ فَقَالُوا
صَلِّ عَلَيْهَا فَقَالَ هَلْ عَلَيْهِ دَيْنٌ قَالُوا لَا قَالَ فَهَلْ تَرَكَ شَيْئًا
قَالُوا لَا فَصَلَّى عَلَيْهِ ثُمَّ أُتِيَ بِجَنَازَةٍ أُخْرَى فَقَالُوا يَا
رَسُولَ اللَّهِ صَلِّ عَلَيْهَا قَالَ هَلْ عَلَيْهِ دَيْنٌ قِيلَ نَعَمْ قَالَ
فَهَلْ تَرَكَ شَيْئًا قَالُوا ثَلَاثَةَ دَنَانِيرَ فَصَلَّى عَلَيْهَا ثُمَّ
أُتِيَ بِالثَّالِثَةِ فَقَالُوا صَلِّ عَلَيْهَا قَالَ هَلْ تَرَكَ شَيْئًا
قَالُوا لَا قَالَ فَهَلْ عَلَيْهِ دَيْنٌ قَالُوا ثَلَاثَةُ دَنَانِيرَ قَالَ
صَلُّوا عَلَى صَاحِبِكُمْ قَالَ أَبُو قَتَادَةَ صَلِّ عَلَيْهِ يَا رَسُولَ
اللَّهِ وَعَلَيَّ دَيْنُهُ فَصَلَّى عَلَيْهِ
Dari Salamah ibn al-Akwa’ r.a pernah berkata: “Kami
pernah duduk bersama dengan nabi SAW ketika dihadirkan kepada Beliau satu
jenazah kemudian orang-orang berkata: “Shalatilah jenazah ini”. Maka Beliau
bertanya, “Apakah orang ini punya hutang?” Mereka berkata, “Tidak”. Kemudian
Beliau bertanya kembali, “Apakah dia meninggalkan sesuatu?” Mereka menjawab,
“Tidak”. Akhirnya Beliau menshalatkan jenazah tersebut. Kemudian didatangkan
lagi jenazah lain kepada Beliau, lalu orang-orang berkata, “Wahai Rasul, shalatilah
jenazah ini”. Maka Beliau bertanya, “Apakah orang ini punya hutang?” Dijawab:
“Ya”. Kemudian Beliau bertanya kembali: “Apakah dia meninggalkan sesuatu?”
Mereka menjawab: “Ada, sebanyak tiga dinar”. Maka Rasul menshalatinya.
Didatangkan lagi jenazah ketiga, orang-orang berkata kembali, “Shalatilah
jenazah ini”. Rasulullah bertanya, "apakah dia meninggalkan
sesuatu?", dijawab, "tidak", Rasulullah bertanya kembali,
"apakah dia memiliki hutang?, maka orang-orang menjawab, "iya, tiga
dinar, Maka Beliau bersabda: “Shalatilah saudaramu ini”. Berkata, Abu Qatadah:
“Shalatilah wahai Rasulullah, nanti utangnya aku yang menanggungnya”. Maka
Beliau SAW menshlatkan jenazah tersebut." (HR. Bukhari)
Maasyiral Muslimin
rahimakumullah.
Dari hadits tersebut kita dapat mengambil sebuah
pelajaran bahwa prihal masalah utang adalah masalah yang serius, sehingga
sebelum nabi menshalati jenazah yang didatangkan kepada beliau, beliau
memastikan terlebih dahulu apakah jenazah tersebut memiliki sangkutan utang
atau tidak. Saat ada jenazah yang memiliki sangkutan utang, beliau mengatakan,
"Shalatilah saudaramu ini", beliau memerintahkan para sahabat untuk
menshalatinya, bukan nabi sendiri yang menshalati. Sampai Abu Qatadah
mengatakan bahwa ia akan menanggung prihal utang jenazah tersebut, barulah nabi
mau menshalatinya.
Jangan pernah meremehkan masalah utang piutang.
Berapapun nominalnya itu menyangkut hak orang lain. Mari saat ini kita berpikir
ulang, barangkali ada hak teman, saudara, kerabat, atau relasi yang pernah kita
gunakan. Jika ada, segera kita tunaikan. Jika sekiranya belum mampu, maka
sampaikan permintaan maaf karena penundaan dalam menunaikannya. Semoga Allah
SWT meringankan rizki kita sehingga kita terhindar dari perkara hutang yang
melilit kehidupan kita. Aamiinn ya robbal 'alamiinn.
بَارَكَ
اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِيْ اْلقُرْآنِ اْلعَظِيْمِ وَنَفَعَنِي وَإيَّاكُمْ ِبمَا
ِفيْهِ مِنَ اْلآياَتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ وَتَقَبَّلَ مِنِّي وَمِنْكُمْ
تِلاَوَتَهُ إنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ اْلعَلِيْمُ
Khutbah II
تَذَكَّرُوْنَ. فَاذكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ
Posting Komentar