Oleh: KH. Makruf Khozin
Fikih -ilmu tata cara beribadah- yang saya pelajari dan saya ikuti adalah Fikih yang harmoni, tidak menabrakkan ilmu dengan realita yang ada. Tidak memaksakan ajaran agama di luar kemampuan. Sebagaimana firman Allah:
ﻓﺎﺗﻘﻮا اﻟﻠﻪ ﻣﺎ اﺳﺘﻄﻌﺘﻢ
"Maka bertakwalah kepada Allah semampu kalian..." (At-Taghabun 16)
Dan sabda Nabi shalallahu alaihi wasallam:
ﻭﺇﺫا ﺃﻣﺮﺗﻜﻢ ﺑﺄﻣﺮ ﻓﺄﺗﻮا ﻣﻨﻪ ﻣﺎ اﺳﺘﻄﻌﺘﻢ
"Jika aku memerintahkan sesuatu pada kalian maka lakukanlah dengan semampu kalian" (HR Bukhari dan Muslim)
Ini pula yang dipedomani oleh NU sehingga mengikuti 4 Mazhab. Meskipun mayoritas memakai Mazhab Syafi'i namun dalam kejadian tertentu diperbolehkan untuk ikut pendapat Mazhab lain sebagai bentuk kelonggaran dalam menjalani tata cara ibadah. Fikih ini pula yang kami sering dengar antara penerapan Fikih para pendiri NU, seperti antara KH Wahab dan KH Bisri.
Di Indonesia, Alhamdulillah, sudah tercipta kondisi yang sangat nyaman untuk menjalankan ibadah sesuai Mazhab Syafi'i. Mulai air yang melimpah untuk wudhu dan bersuci, masjid dan musala yang mudah dijumpai di jalan-jalan, makanan halal yang sudah meluas di warung-warung, bisa menghindari hewan peliharaan yang dihukumi najis, dan sebagainya.
Hidup ini adalah perjalanan; datang dan pergi, masuk dan keluar (kalau pak dosen Yaser Muhammad Arafat masuk terus lama keluarnya). Tidak semua warga Indonesia menetap di negaranya, ada yang terpaksa keluar dari negerinya. Di negara lain situasinya berbeda. Namun yang membuat saya terharu, mereka yang menjadi migran di luar negeri banyak yang masih tekun menjaga ibadahnya. Karena situasinya berbeda maka tata cara ibadah juga perlu pendapat ulama yang mengakomodir kondisi seperti keadaan mereka.
Dari pengajian kemarin sejak pagi sampai sore, saya perlu mengulas secara khusus perihal najis yang kita kenal dengan najis mughallazah (najis kelas berat cara sucinya, Asi dan B4bi), karena beberapa pertanyaan seputar ini juga banyak.
Sejak kecil, mulai ngaji fikih paling dasar memang disebutkan bahwa:
مذهبنا أن الكلاب كلها نجسة، المُعَلَّم وغيره، الصغير والكبير ، وبه قال الأوزاعي وأبو حنيفة وأحمد وإسحاق وأبو ثور وأبو عبيد ، وقال الزهري ومالك وداود: هو طاهر ، وإنما يجب غسل الإناء من ولوغه تعبداً . وحكي هذا عن الحسن البصري وعروة بن الزبير
Mazhab kita bahwa ASI (i diganti U) adalah najis kesemuanya, baik yang dibuat berburu atau lainnya, baik kecil atau besar. Ini juga pendapat dari Auzai, Abu Hanifah, Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur dan Abu Ubaid. Sementara Zuhri, Malik dan Dawud berkata bahwa Asi adalah suci. Kewajiban mencuci jilatan Asi karena perintah ibadah saja. Ini juga pendapat Hasan Basri dan Urwah bin Zubair
Imam Nawawi menampilkan dalil yang dipakai oleh Mazhab Maliki:
وبحديث ابن عمر رضي الله عنهما ما قال: كانت الكلاب تقبل وتدبر في المسجد في زمن رسول الله صلى الله عليه وسلم فلم يكونوا يرشون شيئاً من ذلك . ذكره البخاري في صحيحه.
"Berdasarkan hadis bahwa Ibnu Umar berkata: "Banyak anjing lewat di masjid di masa Nabi shalallahu alaihi wasallam. Para sahabat tidak menyiram sesuatu pun." Riwayat ini disampaikan oleh al-Bukhari dalam Sahihnya
(Al-Majmu', 2/585)
Di halaman lain Imam Nawawi menjelaskan keadaan yang sulit dihindari karena najisnya telah rata di banyak ruangan:
ﻭﻋﻨﺪﻱ ﺃﻧﻪ ﺇﺫا ﻋﻤﺖ ﺑﻪ اﻟﺒﻠﻮﻯ ﻭﺗﻌﺬﺭ اﻻﺣﺘﺮاﺯ ﻋﻨﻪ ﻳﻌﻔﻰ ﻋﻨﻪ ﻭﺗﺼﺢ اﻟﺼﻼﺓ ﻛﻤﺎ ﻳﻌﻔﻰ ﻋﻦ ﻃﻴﻦ اﻟﺸﻮاﺭﻉ ﻭﻏﺒﺎﺭ اﻟﺴﺮﺟﻴﻦ
Menurut saya jika najis sudah merata dan sulit menghindar maka najis ini ditolerir dan sah salatnya sebagaimana ditolerir dari najis tanah di jalan dan kotoran hewan yang beterbangan (Al-Majmu', 2/506)
Secara khusus saya mengingatkan kepada saudara-saudara saya yang bekerja di negara lain, kebetulan majikannya memiliki hewan anjing (ada yang bercerita memang dipekerjakan untuk merawat anjingnya) agar tidak merasa jijik atau membencinya secara kelewatan. Tetap rawat, karena hewan ini juga ciptaan dan makhluk Allah. Boleh jadi merawatnya dengan baik sama seperti yang dialami dalam hadis ini:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « بَيْنَمَا رَجُلٌ يَمْشِى بِطَرِيقٍ اشْتَدَّ عَلَيْهِ الْعَطَشُ فَوَجَدَ بِئْرًا فَنَزَلَ فِيهَا فَشَرِبَ ثُمَّ خَرَجَ فَإِذَا كَلْبٌ يَلْهَثُ يَأْكُلُ الثَّرَى مِنَ الْعَطَشِ فَقَالَ الرَّجُلُ لَقَدْ بَلَغَ هَذَا الْكَلْبَ مِنَ الْعَطَشِ مِثْلُ الَّذِى كَانَ بَلَغَ مِنِّى. فَنَزَلَ الْبِئْرَ فَمَلأَ خُفَّهُ مَاءً ثُمَّ أَمْسَكَهُ بِفِيهِ حَتَّى رَقِىَ فَسَقَى الْكَلْبَ فَشَكَرَ اللَّهُ لَهُ فَغَفَرَ لَهُ ». قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَإِنَّ لَنَا فِى هَذِهِ الْبَهَائِمِ لأَجْرًا فَقَالَ « فِى كُلِّ كَبِدٍ رَطْبَةٍ أَجْرٌ ». رواه مسلم
Ada seorang berjalan dan kehausan, ia menemukan sumur lalu turun ke dalamnya dan minum. Setelah naik ia melihat anjing yang menjulurkan lidahnya karena haus. Ia turun lagi ke sumur mengambil air dengan sepatunya, lalu diminumkan pada anjing tersebut. Allah berterima kasih kepadanya dan mengampuninya. Sahabat bertanya apakah sedekah pada hewan dapat pahala? Nabi bersabda: "Setiap sedekah pada makhluk yang bernyawa mendapat pahala" (HR Muslim)
Masih banyak lagi persoalan Fikih yang dialami, karena memang majikannya tidak mengerti tentang Agama Islam. Ada pekerja yang tidak boleh salat, sehingga dia menjalani salatnya secara sembunyi di kamar mandi. Juga kejadian migran yang tidak boleh berpuasa, karena majikannya takut jika ia tidak makan bisa jatuh sakit, sehingga ketika diberi makan ia bawa ke kamarnya untuk disembunyikan dan mengaku sudah dimakan padahal tetap berpuasa.
Teruntuk Pekerja Migran Indonesia di manapun, saya berdoa untuk kesehatan dan keberkahan rezekinya, serta Allah memberi perlindungan untuk keluarganya, kembali ke Indonesia dengan kesuksesan. Dan tetap jaga ibadahnya, salat, puasa dan lainnya sesuai dengan kondisi kemampuannya.
Posting Komentar