NU Bontang

Mbah Sadiman: Pria Lugu yang Membuat Kita Iri

 


Oleh: Dr. KH. Rijal Mumazziq Z


Ketika menyaksikan Mbah Sadiman diwawancarai Andy F. Noya, saya mewek. Lugu tapi berkepala batu. Sosok mulia dan berhati baja. Dianggap gila namun berkiprah nyata. Kalimat ini memang tak cukup menggambarkan laki-laki gaek yang selama 20 tahun terakhir menghijaukan lebih dari 100 hektar lahan gundul di lereng Lawu sebelah tenggara, Wonogiri, Jawa Tengah.


Wajahnya khas orang desa, dengan gurat kerut di berbagai sudut mukanya. Janggutnya memutih, giginya banyak yang telah tanggal. Logat bicaranya juga kental aksen Jawa Tengahan. Justru di situ letak magnetik pria gaek ini. Di usianya yang menapak senja, lebih dari tujuh dasawarsa, kakinya tetap kokoh menjelajahi sudut perbukitan. Fisiknya juga prima.


Sejak 1998, dia mengawali menanam beberapa bibit pohon. Tak banyak yang dia tanam, karena bibit dia beli pakai uang pribadi, di tengah kesehariannya yang berjualan bibit cengkeh, penggarap lahan tumpang sari di lahan Peehutani dan menyabit rumput yang hasilnya dijual di pasar. Tentu dananya terbatas. Nggak heran jika istrinya sewot. Beberapa kali juga ngambek karena nggak ada duit buat beli bahan lauk. Toh, Mbah Sadiman cuek. Dia kukuh mewujudkan mimpinya menyuburkan lahan perbukitan gundul di sisi tenggara Gunung Lawu di Wonogiri. Hutan ini gundul lantaran kebakaran tahun 1964, kemudian lebih parah lagi kobongan satu dekade setelahnya. Lebih botak lagi akibat pembabatan masal pohon-pohon bernilai ekonomis pada saat krismon.


Sumber air hilang. Satwa juga minggat. Burung-burung tak lagi singgah. Dan, dampaknya sering banjir longsor. Apesnya, sawah-sawah mengering lantaran tiada pasokan air. Paceklik tiba. Warga sengsara.


Apakah Mbah Sadiman mendapatkan dukungan masyarakat dalam upaya menghijaukan bukit botak? Nggak. Malah dianggap gila. Edan. Kurang kerjaan. Cobaan lebih berat karena ketika bibit pohon mulai tumbuh, ada yang usil: membabat bahkan menjebol hingga akarnya. 


Menyerahkah dia? Enggak. Tetap lanjut. Mentalitas pria gaek ini memang sekeras baja. Bahkan, Mbah Sadiman memilih pohon beringin. Tujuannya agar akarnya lebih kokoh mencengkeram tanah dan andal menyerap serta menyimpan air.


Setelah mulai menghijau, satwa mulai nongol lagi. Sumber mata air jernih, sangat jernih bahkan, bisa langsung diminum, menghasilkan debit air tiada henti. Masyarakat mulai mengapresiasi. Bahkan menikmati jerih payahnya. Selesai? Belum. Mbah Sadiman kemudian membuat tangga tanah. Sendirian dia melakoninya (jadi ingat Dasrat Manjhi, pria India berjuluk The Mountain Man yang membelah bukit batu). Ada lebih seribu tangga menuju puncak bukit. Di situ, kata Mbah Sadiman, bisa dipakai masyarakat menikmati alam. "Bisa dipakai untuk berkemah. Untuk rekreasi anak-anak. Di situ juga saya tanami bunga-bunga. Biar nggak jauh jauh kalau jalan-jalan." kata Mbah Sadiman kepada Andy F. Noya.


Kini, dalam beberapa kali even, para relawan pecinta lingkungan mengajak anak-anak camping di sana. Wisata alam.


Untuk menghormati sosok sepuh ini dan mengabadikan jerih payahnya, masyarakat menyebut perbukitan ini dengan Bukit Sadiman.


Atas kontribusinya sebagai pahlawan lingkungan, berbagai penghargaan telah Mbah Sadiman raih. Dari Kalpataru hingga Kick Andy Heroes Award.


***


Silahkan cek wawancara dengan dirinya di Kick Andy, Hitam Putih, CNN Heroes, dan Net.TV. Bahkan yang terakhir juga memberangkatkan umroh dirinya. Di tanah suci, di saat istirahat, dia ditanya, apa tujuannya melakukan upaya yang dianggap gila oleh masyarakat tapi hasilnya kini bermanfaat?


"Saya hanya ingin hidup saya berkah." Jawaban yang mantab.


Atau ketika diwawancarai Andy F. Noya, apa cita-cita Mbah Sadiman? Dengan logat Jawa kental, dia menjawab, cita-cita saya ingin sabar dan ikhlas. Ya Allah....


"Saya tak pernah berpikir untuk bisa memetik hasil kerja saya ini. Bahkan ketika nanti saya sudah tiada, saya juga tak ingin diperlakukan berlebihan. Saya hanya ingin berbuat kebaikan bagi sesama selama saya masih bisa. Saya pasti senang kalau didukung, tapi sebenarnya asal tidak diganggu saja saya sudah cukup senang meskipun itu masih juga sering terjadi," ujar Mbah Sadiman, lelaki tua asal Dusun Dali, Desa Geneng, Bulukerto, Wonogiri, Jateng ini, sebagaimana saya kutip dari tulisan Mas Zia Ul Haq dalam salah satu artikel pendek di santrijagad.id.


Mbah Sadiman memang tidak pandai berdalil. Bahkan ketika mengucapkan salam pun tidak fasih, tapi sosok inilah yang benar-benar mengamalkan sabda mulia dan sosok termulia, Baginda Rasulullah Saw:


"Jika terjadi hari kiamat sementara di tangan salah seorang dari kalian ada sebuah tunas, maka jika ia mampu sebelum terjadi hari kiamat untuk menanamnya maka tanamlah.” (HR. Imam Bukhari dan Imam Ahmad).


Saya iri mbah...Iri banget....

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama