NU Bontang

Urip mung sawang sinawang



Oleh: Gus Rizal Mumazziq, M.H.I (Rektor UAS Kencong - Jember)


Urip mung sawang sinawang, kata orang Jawa. Tapi, dilihat dari alur kehidupannya, Pak Jokowi sudah "rampung" sebagai laki-laki. Soal karier, suami Bu Iriana ini dalam puncak juga setelah melewati fase 212: dua kali sebagai walikota, sekali gubernur, dan dua kali masa jabatan presiden. Anaknya (pernah) jadi walikota, demikian juga menantunya. Kini, buah hatinya juga menjabat sebagai wakil presiden. 


Di hadapan Ibu Sujiatmi Notomiharjo, beliau sudah membuktikan baktinya hingga ibundanya berpulang. Sebagai suami, beliau juga tidak neko-neko, apalagi terindikasi adanya skandal asmara. Anteng dan tenang.


Di sisi lain, sebagai ayah tiga orang buah hati, beliau sudah berhasil melaksanakan tanggungjawabnya: mengantar generasinya menikah. Mentas Kabeh, apalagi setelah Kaesang Pengarep si putra tengil dan usil menikah. 


Tapi, dari sekian banyak capaiannya, saya paling suka melihat beliau sebagai kakek dari beberapa cucu yang lucu. Foto-foto yang selama ini beredar jauh dari kesan jaga imej. Justru di situ letak "imej"-nya, citranya yang asyik sebagai eyang.


Juga paling suka melihatnya bicara dengan rakyat bawah, tatkala memberi tebakan berhadiah kepada para anak, remaja, dan para kakek-nenek yang wajahnya persis dirinya: wajah rakyat kebanyakan. Cek saja video-videonya, para kaum alit ini ceplas-ceplos minta ini itu ke Pak Jokowi. Ada yang minta laptop, sepeda motor, utangnya dilunasi, dan permintaan lain. Khas polos rakyat kebanyakan. Permintaan yang tidak muluk-muluk. Langsung dan, seperti biasa, dikabulkan oleh beliau. 


Juga, tatkala keliling ke semua provinsi di wilayah yang dipimpin, sambil naik mobil, motor dan beberapa kali jalan kaki--yang membuat paspampres lebih waspada-- dan dikelilingi ribuan warga yang menyemut di sekitar iring-iringan mobilnya. Warga yang berkerumun menyambut presiden: tanpa polesan  kosmetik berlebihan, wajah polos nan gembira, juga--ini yang sering dijumpai--hanya pakai daster menggendong bayi sambil dadah-dadah dengan raut gembira menyambut Pak Jokowi di jok belakang sedannya. 


Pak Jokowi, sebagai RI-1 dua periode itu ada kekurangannya sebagai pemimpin, tentu. Tapi banyak pula kelebihannya. Tapi orang ini cerdas. Postur dan wajahnya memang ndeso, harus kita akui. Tapi beliau bisa memanfaatkannya sebagai personal branding. "Bodoh", "Plonga-Plongo", "Tolol", "Dungu", "Ndeso", "Boneka Mega", "Kampungan", adalah beberapa istilah yang melekat dalam masa kepemimpinannya untuk mendeligitimasi sosoknya. 


Tapi, sekali lagi tapi, orang ini jenius taktik. Gua kira cupu, ternyata suhu. Meminjam istilah gen-Z. Atau, datang sebagai pemula, pamit sebagai legenda. Bukan teoritikus politik, tapi ahli politik. Tampaknya, wong Solo ini paham betul menerapkan Hukum ke-21 dari buku "48 Hukum Kekuasaan" yang dicetuskan Robert Greene dalam bukunya itu. Apa doktrinnya? 


"Berpura-puralah menjadi orang TOLOL untuk menangkap seseorang yang tolol, berilah kesan bahwa Anda lebih bodoh daripada sasaran Anda."


Masyuuuuk. Oke. Beliau berpura-pura bodoh atau tidak, itu urusan lain. Yang pasti, Pak Jokowi ini pintar memanfaatkan peluang, cerdas membaca angin politik, pembelajar yang cepat, merangkul pihak "lawan" tanpa merendahkan marwahnya, dan mengubah pihak lawan menjadi kawan. Semua bisa dibaca di era 2 periode masa jabatan politiknya. 


Wong Solo ini pula yang menerapkan taktik jitu ala Toyotomi Hideyoshi, pemersatu Jepang abad XVI yang punya latar belakang seperti dirinya: bukan priyayi. Taktik apa itu? Rangkul orang yang kemampuannya melebihimu, kata Hideyoshi dalam buku karya Kitami Masao, The Swordless Samurai (h. 206). Cek saja, 10 tahun memimpin, orang sipil ini dikelilingi jaringan Baret Merah. 


Orang-orang yang punya kemampuan melebihi dirinya untuk menjadi inner circle terbaiknya dilibatkan. Termasuk Jenderal Luhut B Panjaitan dan Jenderal Hendropriyono beserta para menantunya. Keputusan yang oleh sebagian orang dinilai bahwa Jokowi-lah yang dikendalikan oleh mereka. Dalam pertempuran politik terakhir, pada Pilpres lalu, Pak Jokowi bahkan menitipkan putranya ke Mantan Danjen Kopassus, yang kali ini menjadi penggantinya sebagai RI-1. 


Baiklah, Pak Jokowi memang bukan tipikal orator ala Bung Karno, juga bukan pembicara yang lugas dan tutur kata sistematis ala Pak SBY. Bahasa asingnya juga lemah, tidak memukau seperti Bung Karno, BJ Habibie dan Gus Dur, tapi berbagai kelemahannya ini dia jadikan keunggulan dalam branding personal dan marketing pribadinya. Boleh dibilang, kalau dalam bal-balan, Pak Jokowi ini mirip Filippo Inzaghi: pintar memilih tandem, cerdas membaca arah bola dan nyaris selalu tepat memposisikan diri di depan lawan, walaupun kemampuan drible-nya jadi ejekan. Sedikit sentuhan tricky pula? Mungkin. Hahahah


Sebagai rakyat, saya bersyukur selama beliau memimpin, Pak Jokowi bisa menstabilkan politik level atas dengan pendekatan khasnya, juga bersyukur lantaran nyaris tidak ada berita beredar beliau dirawat di rumah sakit. Artinya, walaupun ada gurat kelelahan di wajahnya yang tampat tersorot kamera, orang ini punya vitalitas di atas rata-rata. 


***

Dalam sebuah prosesi pergantian RI-1, tadi siang, dalam gerakan cepat yang nyaris luput dari kamera, tangan beliau mencopot sendiri pin merah putih di dada kiri, setelah Pak Prabowo resmi mengucapkan sumpah. Sebuah tindakan kecil nan sederhana yang menjadi gambaran watak legowonya: kembali menjadi rakyat biasa. 


Selamat atas pencapaian diri sebagai anak, suami, pria, ayah, eyang, dan pemimpin Indonesia, Pak Jokowi. Terimakasih atas pengabdian bapak sebagai pemimpin ratusan juta rakyat Indonesia.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama