Oleh: Miftahul Alim
MAULID NABI : PERSPEKTIF, SEJARAH dan PENEGUH NASIONALISME
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Sudah menjadi tradisi yang mengakar, setiap memasukin bulan ke 3
dalam penanggalan hijriah umat muslim Indonesia khususnya dan umat muslim dunia
pada umumnya akan berbondong-bondong menyibukkan diri untuk menyiapkan momentum
perayaan bulan kelahiran Nabi Muhammad. Walaupun secara historis ada beberapa
perbedaan pendapat kapan tepatnya kelahiran Baginda Nabi Muhammad Saw. Namun,
mayoritas Ulama telah bersepakat bahwa tanggal 12 Rabiu’ul awal atau tepat pada
tanggal 20 april tahun 571 M adalah bulan dimana makhluk paling mulia ini
dilahirkan.
Tradisi perayaan maulid setiap daerah memiliki sebutan tersendiri
dalam perayaannya. ada yang menyebut maulid, ada yang menyebut maulud, muludan,
mevlud dan lain-lain. Namun tetap memiliki inti yang sama, yaitu memperingati
hari kelahiran Baginda Nabi Muhammad Saw. Tidak hanya dari segi penamaan saja
yang memiliki perbedaan, dalam perayaannya pun demikian.
Dalam bukunya yang berjudul: Menyusuri Jalan Cahaya, KH.
Husein Muhammad beliau mengungkapkan tentang tradisi maulid Nabi di negara
Turki. Bahwa seminggu menjelang maulid, masjid-masjid disana akan dihiasi
dengan lampu-lampu lampion warna-warni. Halaman rumah penduduk dibersihkan dan
di cat. Beliau juga mengutip catatan cerita Annemarie Achimmel dalam buku Dan
Muhammad adalah Utusan Allah. Disebutkan bahwa perayaan besar-besaran untuk
memperingati maulid diselenggarakan di pelataran benteng Kairo. Ruas-ruas jalan
penuh sesak manusia. Di negeri berpenduduk mayoritas muslim tersebut, hari itu
diperingati dengan menyalakan obor-obor di jalan-jalan sambil pawai
mengelilingi kota. [1]
Di Indonesia pun
demikian. Perayaan maulid diperingati dengan berbagai macam tradisi. di Madura,
ada sebuah tradisi unik dalam perayaan maulid. Masyarakat disana meyakini jika
mereka medatangi perayaan maulid membawa uang dengan nominal tertentu. Maka uang
tersebut dapat memanggil rezeki lainnya. Asalkan uang yang dipegang tadi
disimpan dalam genggaman tangan dan tidak dibelanjakan. [2]
Perayaan maulid
nabi, terutama di Indonesia hal yang pasti tidak bisa ditinggalkan adalah
adanya sedekah. Baik berupa uang maupun berupa makanan. Di Yogyakarta ada
istilah grebeg maulid. Tradisi ini dilakukan oleh para prajurit keraton
dengan membawa "gunungan" yang berisi tumpukan makanan berupa hasil
perkebunan mereka. seperti sayur-sayuran dan buah-buahan serta makanan tradisional
sebagai pelengkapnya. Parade ini merupakan perayaan yang paling ditunggu-tunggu
oleh masyarakat Yogyakarta. Biasanya mereka akan memadati jalan-jalan di pusat
keramaian seperti pasar untuk berburu makanan yang dibagikan.[3]
Inilah beberapa
bentuk tradisi yang berkembang di masyarakat kita. Karena masyarakat Indonesia
adalah masyarakat yang sangat kaya
dengan berbagai macam tradisi. maka tidak heran jika walapun sama dalam satu
negara tetapi akan ditemukan perbedaan-perdaan disetiap daerah yang ada di
Nusantara.
1.2
Ruang Lingkup
Pada penulisan makalah kali ini fokus penulis bukan untuk membahas
tentang macam-macam tradisi dalam memperingati maulid Nabi Muhammad SAW. Hal di
atas hanya sebagai gambaran bahwa tradisi perayaan maulid itu bukan hanya
bersifat lokal, melainkan sudah mendunia. Penulis akan mencoba memfokuskan
tulisan ini untuk membahas dua hal. Yaitu tentang sejarah maulid dan efek
perayaan maulid nabi dalam menumbuhkan sikap nasionalisme.
Walapun sejarah selalu melahirkan perspektif yang berbeda, tetapi
justeru perbedaan perspektif dalam memahami sejarah merupakan hal yang penting.
Agar kita bisa mengambil sikap objektif dalam memahami hal ihwal masalah
kekinian yang sering timbul akibat hanya karena berbeda dalam memahami sejarah.
Termasuk dalam masalah perayaan maulid nabi.
BAB II
PEMBAHASAN
1.1
Perspektif dalam Menyikapi Maulid Nabi
Sesuai dengan yang telah dipaparkan pada ruang lingkup di atas.
Perbedaan memahami sejarah akan berdampak pada pengambilan sikap dalam
menentukan sebuah masalah. Dalam menyikapi tentang peringatan maulid Nabi
melahirkan dua persepsi. Persepsi yang pertama adalah menganggap bahwa maulid
Nabi adalah bagian dari hal yang dianjurkan. Adapun pandangan yang kedua adalah
pandangan bahwa memperingati maulid adalah bid’ah.
1.
Pandangan yang Menganjurkan Maulid Nabi
Adapun salah satu argumen yang sering digunakan dalam melegalisasi
peringatan maulid nabi oleh kelompok pertama ini adalah hadits yang berkaitan
dengan puasa sunnah hari senin. Sebagaimana yang pernah diutarakan Prof. DR.
Ali Jum’ah, salah satu ahli fatwa Mesir. Beliau menjelaskan dengan mengutip
hadis dari Umar bin Khattab yang berbunyi :
سُئِلُ ( اُيْ النُّبِى صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم ) عَنْ صَوْمِ
يَوْمِ الإِ ثْنَيْنِ ؟ قَالَ : ذَاكَ يَوْمٌ وُلِدْتُ فِيهِ وَيَوْمٌ بُعِثْتُ
أَوْ أُنْزِلَ عَلَىَّ فِيهِ
Artinya : “Nabi SAW pernah ditanya tentang mengapa puasa hari
senin, kemudian beliau menjawab : itu adalah
hari aku dilahirkan, dan hari aku diangkat menjadi nabi”
Dalam hadis ini
terdapat isyarat bahwasanya nabi mensyukuri hari kelahirannya dengan berpuasa
pada hari senin.[4]
Landasan lain yang
memperkuat perspektif anjuran dalam memperingati maulid nabi adalah hadits yang
diriwaatkan oleh Imam Bukhori dan Muslim. Ketika Nabi Muhammad SAW di Madinah,
beliau mendapati orang Yahudi berpuasa pada hari Asy-Syura. Dan ketika ditanya
mereka menjawab,”ini adalah hari dimana Allah menenggelamkan Fir’aun dan
menyelamatkan Nabi Musa A.s.
Al-Hafizh Ibn
Hajar mengatakan,”Dari hadis ini dapat ditarik kesimpulan tentang anjuran
bersyukur kepada Allah Swt atas nikmat yang dianugerahkan pada hari tertentu,
baik berupa pemberian nikmat maupun berupa bentu penolakan bencana. Syukuran
itu kemudian dilakukan secara berulang-ulang pada hari yang sama dalam setiap
tahun. Adapun bentuknya bisa bermacam-macam. Seperti : ibadah puasa, sujud,
sedekah, membaca Al-Qur’an dan lain sebagainya.[5]
Landasan yang juga
sering dijadikan sebagai legalitas perayaan maulid nabi adalah hadis tentang rukhsah
Allah Swt atas Abu Lahab di dalam neraka pada setiap hari senin. Karena ia
telah memerdekakan budak yang bernama Tsuwaibah yang memberikan kabar gembira
kepada Abu Lahab atas lahirnya Nabi Muhammad Saw. Keterangan ini dapat dilacak
dalam kitab ‘Urfat At-Ta’rif Bi Maulid Asy-Syarif karya Al-Hafidz
Syamsuddin bin Al-Jazari. [6]
Dari seni kemudian
muncul persepsi, jika Abu Lahab yang notabene kafir saja mendapat ampunan dari
Allah lantaran rasa gembirana saat mendengar kelahiran keponakannyay sendiri
yang tidak lain adalah Muhammad ibn Abdillah. Lalu bagaimana dengan seorang
yang se-dari kecil beriman kepada Allah. Karena peringatan maulid nabi didasari
atas wujud kecintaan kepada nabi Muhammad Saw. Sebenarnya masih banyyak
pendapat para ulama yang dapat dijadikan sebagai legalitas atas anjuran
memperingati maulid Nabi Muhammad Saw. Namun, kiranya cukup hal-hal yang telah
disampaikan di atas menjadi pondasi kuat untuk mengamalkan maulid Nabi Muhammad
Saw.
2.
Pandangan yang Menolak Maulid Nabi
Pandangan kedua ini, yang sekarang terkenal dengan kelompok anti-maulid.
Mereka menganggap dan beralasan bahwa peringatan maulid nabi adalah sesuatu
yang mengada-ada. Karena zaman Rasulullah Saw, para sahabat, dan generasi
terbaik setelah sahabat tidak pernah menyelenggarakan peringatan maulid nabi.
Atas dasar inilah kelompok yang mengaku sebagai penerus salaf tersebut menolak
dengan keukeh keabsahan peringatan maulid nabi Muhammad Saw.
Mereka menjelaskan, “Jika kita menelusuri dalam kitab tarikh
(sejarah), perayaan Maulid Nabi tidak kita temukan pada masa sahabat, tabi’in,
tabi’ut tabi’in dan empat Imam Madzhab (Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam
Syafi’i dan Imam Ahmad), padahal mereka adalah orang-orang yang sangat cinta
dan mengagungkan Nabinya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka adalah
orang-orang yang paling paham mengenai sunnah Nabinya shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan paling semangat dalam mengikuti setiap ajaran beliau.[7]
Dasar hadis yang sering kali mereka dengungkan untuk menjustifikasi
bahwa maulid merupakan bid’ah yang sesat adalah hadis yang datang diriwayatkan
oleh Jabir ibn Abdullah.
كل محدث بدعة وكل بدعة ضﻻلة وكل ضﻻلة فى النار
Hadis inilah yang sering digunakan sebagai dasar orang-orang yang
anti-maulid. Kemudian mengenerelisasi bahwa setiap perkara yang baru adalah
bid’ah, dan bid’ah adalah sesat, setiap sesuatu yang sesat adalah neraka
tempatnya, termasuk peringatan maulid nabi.
Melihat realitas
yang sudah terpapar di atas, sebenarnya permasalahan seperti ini sudah selesai berabad-abad
silam. Namun, karena peringatan maulid nabi bersifat periodik (tahunan). Maka
setiap menjelang maulid nabi perkara yang sudah selesai ratusan tahun lalu
muncul kembali dipermukaan.
Agar pembahasan lebih komprehensif penulis mencoba untuk menuangkan
hal ihwal tentang maulid nabi dalam perspektif sejarah. Ternyata perbedaan
pendapat pendapat tidak hanya kita temukan dalam menyikapi hukum maulid nabi.
Dalam lingkup sejarah-pun muncul pendapat-pendapat yang berbeda. Tujuannya pun
sama, sama-sama untuk lebih memperkuat landasan hukum tentang masalah maulid.
1.2
Sejarah Maulid Nabi
1.
Maulid Nabi pada Masa Sahahuddin Al-Ayubi (1193 M)
Sejauh ini, penulis masih meyakini bahwa pencetus peringatan maulid
nabi bermula pada masa Salahuddin Al-Ayyubi (1193 M). Disebutkan bahwa
Salahuddin Al-Ayyubi mengadakan sayembara untuk menuliskan kisah-kisah yang
berkaitan tentang Nabi Muhammad Saw. Konon, pada waktu itu semangat yang
dimiliki kaum muslim dalam berjuang demi agama mengalami pelemahan. Karna
alasan ini kemudian Salahuddin Al-Ayyubi
mempunyai inisiatif untuk mengadakan sayembara tersebut. Satu tokoh yang
berhasil menorehkan karya indahnya dalam bentuk sya’ir, kisah, dan sajak
tentang kisah hidup Nabi Muhammad adalah
Syaikh Al-Barzanji. Dan karya tersebut diabadikan dalamkitab yang sekarang kita
juga bisa membacanya. Yaitu kitab Al-Barzanji. Kitab yang berisikan kisah dan
pujian kepada Nabi Muhammad Saw.
Ada juga yang mengatakan bahwa pemrakarsa maulid nabi bermula dari
dinasti Ubaydiyyun atau disebut juga Fatimiyyun. Pendapat ini kebanyakan
diyakini oleh golongan mereka yang anti maulid. Yang kemudian
menyangkut-pautkan teologi dinasti Ubaidiyyun sebagai aliran Syi’ah dengan
maulid nabi.
Salah satu pendapat mereka diantaranya,” Perlu
diketahui pula bahwa menurut pakar sejarah yang terpercaya, yang pertama kali
mempelopori acara Maulid Nabi adalah Dinasti Ubaidiyyun atau disebut juga
Fatimiyyun (silsilah keturunannya disandarkan pada Fatimah). Sebagai buktinya
adalah penjelasan berikut ini.
Al Maqriziy, seorang pakar sejarah mengatakan, “Para khalifah
Fatimiyyun memiliki banyak perayaan sepanjang tahun. Ada perayaan tahun baru,
hari ‘Asyura, maulid (hari kelahiran) Nabi, maulid Ali bin Abi Thalib, maulid
Hasan dan Husain, maulid Fatimah al Zahra, maulid khalifah yang sedang
berkuasa, perayaan malam pertama bulan Rajab, perayaan malam pertengahan bulan
Rajab, perayaan malam pertama bulan Sya’ban, perayaan malam pertengahan bulan
Rajab, perayaan malam pertama bulan Ramadhan, perayaan malam penutup Ramadhan,
perayaan ‘Idul Fithri, perayaan ‘Idul Adha, perayaan ‘Idul Ghadir, perayaan
musim dingin dan musim panas, perayaan malam Al Kholij, hari Nauruz (Tahun Baru
Persia), hari Al Ghottos, hari Milad (Natal), hari Al Khomisul ‘Adas (3 hari
sebelum paskah), dan hari Rukubaat.” (Al Mawa’izh wal I’tibar bi Dzikril
Khutoti wal Atsar, 1/490. Dinukil dari Al Maulid, hal. 20 dan Al
Bida’ Al Hawliyah, hal. 145-146)
Asy Syaikh Bakhit Al Muti’iy, mufti negeri Mesir dalam kitabnya Ahsanul
Kalam (hal. 44) mengatakan bahwa yang pertama kali mengadakan enam perayaan
maulid yaitu: perayaan Maulid (hari kelahiran) Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam, maulid ‘Ali, maulid Fatimah, maulid Al Hasan, maulid Al Husain
–radhiyallahu ‘anhum- dan maulid khalifah yang berkuasa saat itu yaitu Al
Mu’izh Lidinillah (keturunan ‘Ubaidillah dari dinasti Fatimiyyun) pada tahun
362 H.
Begitu pula Asy Syaikh ‘Ali Mahfuzh dalam kitabnya Al Ibda’ fi
Madhoril Ibtida’ (hal. 251) dan Al Ustadz ‘Ali Fikriy dalam Al
Muhadhorot Al Fikriyah (hal. 84) juga mengatakan bahwa yang mengadakan
perayaan Maulid pertama kali adalah Ubaidiyyun (Fatimiyyun). (Dinukil dari Al
Maulid, hal. 20) [8].
2.
Peringatan Maulid Nabi Abad ke Dua
Terlepas dari dua pendapat di atas, ternyata ada pendapat lain yang
mengatakan bahwa pencetus peringatan maulid nabi sudah ada dari abad ke dua
hijriyah. Berdasarkan catatan Nuruddin Ali dalam kitab Wafa’ul Wafa bi
Akhbar Dar Al-Musthafa yang di sadur kembali oleh Ahmad Tsauri dalam
bukunya Sejarah Maulid Nabi mengatakan bahwa Khaizuran-lah (170 H/786 M)
sebagai pemrakarsa peringatan maulid nabi Muhammad Saw. Belia datang ke Madinah
dan memerintahkan penduduk untuk merayakan maulid Nabi Muhammad Saw. Kemudian
beliau juga mendatangi Mekah dan memerintahkan penduduknya mengadakan
peringatan maulid Nabi Muhammad Saw. Keterangan ini dikemukakan juga oleh H.M.H
Al-Hamdin Al-Husain dalam bukunya Sekitar Maulid Nabi Muhammad Saw. [9]
Khaizuran merupakan sosok wanita berpengaruh pada masa pemerintahan
tiga khalifah Dinasti Abbasiyah. Melalui ‘pengaruh’ nya, Khaizuran
mengintruksikan peringatan hari lahir Nabi Muhammad Saw. Al-Azraqi mengatakan
bahwa kota Mekah memiliki satu sudut istimewa yang sangat dianjurkan dijadikan
sebagai tempat shalat. Tempat itu adalah tempat dimana Rasulullah dilahirkan. Tempat
itu, menurut Al-Azraqi kemudian dialih-funsikan menjadi masjid oleh
Khaizuran.
Sufi
besar, Syaikh Ma’ruf Al-Karkhi yang wafat pada tahun 200 H/ 815 M. Mengatakan :
مَنْ هَيَأَ لِأَجْلِ قِرَأَةِ مَوْلِدِ الَّرَسُوْلِ طَعَمًا وَ
جَمَعَ اِخْوَانًا وَاَوْقَدَ سِرَاجًا وَلَبِسَ جَدِيْدًا وَتَعَطَّرَ
وَتَجَمَّلَ تَعْظِيْمًا لِمَوْلِدِهِ حَشَرَهُ اللهُ تَعَالى يَوْمَ الْقِيَامَةِ
مَعَ الْفِرْقَةِ الأُولىَ مِنَ النَّبِيِّيْنَ وَكَا نَ فِى أَعْلَى عِلِيِّيْنَ
وَمَنْ قَرَاَ مَوْلِدَ الَّرَّسُولِ ص .م عَلَى دَراَهِمِ مَسْكُوكَةِ فِضَّةٍ
كَانَ اَوْذَهَبًا وَخَلَطَ تِلْكَ الّدَرَاهِمِ مَعَ دَراَهِمَ اُخْرَى وَقَعَتْ
فِيْهَا الْبَرَكَةُ وَلاَ يَفْتَرِقُ صَا حِبُهَا وَلاَ تَفْرَغُ يَدَه بِبَرَكَةِ
مَوَلِدِ النَّبِى ص,م
“Barang siapa yang menyiapkan makanan untuk mengadakan pembacaan
kisah maulid nabi, mengumpulkan orang-orang, menyalakan lampu, memakai pakaian
yang bagus, menggunakan minyak wangi, dan menghias diri, atas dasar memuliakan
hari kelahiran Rasulullah Saw. Allah Swt akan mengumpulkannya pada hari kiamat
kelak bersama rombongan pertama, yaitu rombongan para nabi yang ditempatkan di
surga tertinggi. Dan barang siapa membaca maulid pada sejumlah uang dan uang
itu di campr dengan uang lainnya, ia akan mendapat berkah, dan orang tersebut
tidak akan fakir, dan tidak akan sampai tidak punya uang sama sekali, karena
keberkahan maulid Nabi Muhammad Saw”.
Keterangan
di atas semakin menguatkan ternyata maulid nabi juga sudah dilakukan sebelum
abad ke 4 dan ke 3. Syaikh Ma’ruf Al-Karkhi adalah ulama ahli sufi yang wafat
pada tahun 200 H. Maka secara otomatis ulama ini hidupnya pada kurun abad ke 2
H. Dan beliau pada waktu itu sudah menganjurkan untuk memperingati atau
memuliakan hari kelahiran Nabi Muhammad Saw.
Jika
ternyata dua pendapat ini benar, maka secara otomatis hal ini akan menggugurkan
2 pendapat di atas. Baik yang mengtakan pencetus maulid di mulai pada masa
Salahuddin Al-Ayyubi atau pada masa Dinasti Fatimiyyun. Tetapi kebenaran
sejarah secara mutlak tidak bisa diputuskan. Karena sejarah bisa saja berubah
seiring dengan datangnya data atau teori baru.
Disini
penulis hanya berusaha menyuguhkan sejarah maulid secara objektif agar ini
dapat menjadi khazanah keilmuan kita bersama dalam memahami sejarah yang ada.
1.3
Menumbuhkan Nasionalisme dalam Maulid Nabi
Nasionalisme, atau yang sering kita sebut sebagai rasa cinta tanah
air adalah bagian dari fitrah manusia. Karena sudah sewajarnya manusia memiliki
rasa cinta, rindu, ataupun sayang pada tempat dimana mereka dilahirkan. Rasa
tersebut kemudian muncul sebagai bnetuk kepedulian dan rasa memiliki kepada
tempat dimana mereka tinggal. Sebagaimana yang juga pernah dialami oleh Nabi
Muhammad Saw yang datang dari sahabat Anas bin Malik ra :
عَنْ اَنَس اَّالنَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّم كَانَ اِذَا
قَدَمَ مِن سَفَرٍ فَنَظَرَ الى جِدَرَات الْمَدِيْنَةِ اَوْضَعَ رَاَحِلَتَهُ ,
وَاِنْ كَانَ على دَابَّةٍ حَرَّكَهَا من حُبِّهَا
Dari Anas, Bahwasannya Nabi Muhammad Saw jika pulang dari bepergian
beliau melihat ke arah tembok-trembok gedung di Madinah lalu mempercepat
jalannya. Jika beliau berada di atas kendaraan (seperti kuda atau onta), beliau
akan mengguncang-ngguncangkan tali kekang kendaraannya (agar cepat
sampai) karena kecintaannya kepada Madinah, (HR. Bukhori)
Riwayat lain mengatakan, ketika nabi hendak hijrah ke Madinah karena
tindakan repressive kaum musyrikin dan kafir Quraisy, Nabi Muhammad Saw
bersabda,”Betapa indahnya engkau wahai Makkah, betapa cintanya aku padamu. Jika
bukan karena aku dikueluarkan oleh kaumku darimu, aku tidak akan meninggalkanmu
selamanya, dan aku tidak akan meninggali negara selainmu“. Hal ini
menggambarkan betapa cintanya Nabi Muhammad Saw kepada tanah kelahirannya,
yakni kota Makkah. Nasionalisme bukan hanya sebagai fitrah manusia, namun juga
hal yang sudah sejak lama telah dicontohkan oleh Rasulullah Saw.
Melalui peringatan maulid Nabi
Muhammad Saw. Habib Luthfi bin Yahya Pekalongan selalu mengajak kepada
masyarakat untuk ngaji sejarah. Agar mereka ingat bahwa kemerdekaan bangsa
Indonesia bukanlah hadiah yang diberikan oleh pihak kolonial kepada masyarakat
Indonesia, tetapi kemerdekaan yang kita rasakan ini adalah buah dari perjuangan
para pahlawan yang telah berdarah-darah memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Upaya
menyadarkan masyarakat atas sejarah inilah menjadi titik tumpu untuk memahamkan
kepada mereka bahwa kita sebagai penikmat perjuangan harus selalu menjaga tanah
air ini dengan sungguh-sungguh.
Upaya untuk senantiasa agar kita
selalu ingat kepada sejarah telah dilakukan oleh Habib Luthfi bin Yahya Pekalongan.
Salah satunya melalui even maulid maulid nabi yang sering beliau laksanakan di
Kanzus Sholawat. Tidak sampai disitu, beliau juga mendorong kepada masyarakat
agar setiap rumah untuk memasang foto-foto ulama, seperti Hadratus Syyaikh
Hasyim Asy’ari, dan foto-foto pahlawan seperti Pangeran Diponegoro, R.A
Kartini, Cut Nyak Dien, dan pahlawan-pahlawan lainnya. Menceritakan kisah-kisah
pahlawan kepada anak-anak, mengajak siswa-siswi ke taman makam pahlawan,
mengikut-sertakan nama-nama pahlawan itu dalam doa tahlil dan yasin. [10]
Dalam setiap even maulid Nabi
Muhammad habib Luthfi selalu menekankan pentingnya cintah tanah air. Selain di
isi dengan ceramah, dalam acara-acara tersebut juga selalu dikumandangkan lagu
Indonesia raya dan dibacakan teks pancasila. Dimana hadirin diminta berdiri
untuk mengumandangkannya secara bersamaan.
Tidak sampai sini, beliau juga
memiliki sebuah karya sya’ir yang mengisyaratkan tentang kecintaan beliau
kepada tanah air Indonesia. Salah satu bait sya’ir karya adalah :
Keindahan
bumi pertiwi
Terhias untaian mutiara
Pembangun bangsa yang sejati
Harum namanya di Nusantara
Jejak-jejak para Pendahulu
Sejarah saksi kehidupannya
Tersurat tersirat masa lalu
Jadi bekal untuk penerusnya { 2x}
Dalam bait lagu di atas dapat kita
rasakan semangat beliau habib Luthfi bin Yahya atas kecintaan beliau kepada
tanah air ini. sebagaimana yang juga pernah dirasakan Nabi Muhammad seperti
riwaat ang telah di tuangkan di atas.
BAB
III
PENUTUP
1.1
Kesimpulan
Melihat
pemaparan di atas dapat kita simpulkan bahwa perspektif dalam merespon
peringatan maulid Nabi Muhammad Saw ada dua macam. Pertama adalah golongan yang
membolehkan dan yang kedua adalah golongan yang menganggap bahwa peringatan
maulid nabi adalah bid’ah. Hal ini sudah menjadi materi lawas yang kemudian
sering dimunculkan dan diperdebatkan kembali. Yang perlu kita sadari bersama
adalah jika kita melihat secara seksama semua memiliki dasar dalam
penerapannya. Baik pendapat yang pro maulid maupun pendapat yang kontra atau
anti maulid.
Kemudian
awal mula permasalahan muncul adalah adanya narasi saling menyalahkan satu sama
lain. Yang pro menyalahkan yang kontra, begitu pula sebaliknya. Jika hal ini
dikembalikan bahwa perbedaan adalah sebuah keniscayaan dan dapat menghargai
antara pendapat satu dengan pendapat yang lain, ini akan menjadi titik temu
dari problematika yang selama ini terjadi. Tetapi kenyataannya tidak demikian.
Jika
perayaan maulid nabi sudah menjadi bagian dari tradisi, bahkan disebutkan di
atas sudah ada sejak abad ke 2 hijriyah. Seharusnya kita menghormati tradisi
yang sudah berjalan selama ber-abad-abad ini. apa lagi tradisi ini bukan hanya
sebatas tradisi budaya belaka. Tetapi memiliki nilai spriritualitas untuk
menghidupkan ghirah (semangat) beragama dan cinta kepada Baginda Nabi
Muhammad Saw dengan dasar dan dalil yang sangat bisa dipertanggung-jawabkan.
Dalam
menelaah sejarah pun demikian. Ada opsi sejarah yang dapat kita pilih. Karena
tidak mungkin kita dapat menyelaraskan sejarah yang ada. Kita yyang bukan
sebagai pelaku sejarah hanya bisa melihat dan menelaah sejarah mana yyang
sekiranya lebih otoritatif dapat dijadikan sebagai bahan rujukan itu yang
seharusnya lebih kita ambil. Tidak hanya klarena sentimentil kemudian justeru
membangun dan membenarnya sejarah yang kurang mapan dan matang, baik dari segi
teori dan data lapangan yang mendukung.
Maulid
bukan hanya sebagai ritual kegamaan. Tetapi juga dapat difungsikan sebagai pemupuk
cinta terhadap tanah air. Sebagaimana yang telah dilakukan ioleh Habib Luthfi
bin Yahya di Pekalongan. Hal ini dirasa penting untuk diadopsi karena
belakangan ini mulai muncul sebuah kekhawatiran besar adanya generasi kita yang
melui mempertanyyaakan keabsahan nasionalisme.
1.2
Saran
Kesadaran dalam perbedaan harus dapat mengantarkan kepada seseorang
agar dapat menghargai adanya perbedaan. Secara perseptif hukum dan sejarah kita
telah melihat bersama bahwa maulid nabi memiliki patrunnya masing-masing. Dari
sini tak perlu lagi untuk diperdebatkan kembali. Banyak hal-hal positif yang
seharusnya diapresiasi dalam peringatan maulid nabi. Karena disamping sebagai
bagian dari kearifan lokal dan pelestarian budaya. Maulid nabi juga dapat
menjadi jalan sebagai penguat nasionalisme sebagaimana yang sudah dilakukan
oleh Habib Luthfi bin Yahya bersama majelis Khanzus Sholawat yang diasuh oleh
beliau.
[1] KH. Husain Muhammad, Menyusuri Jalan
Cahaya,(Yogyakarta,Bunyan,2013)hal.72
[2] Sumber : http://plat-m.com/tradisi-maulid-nabi-di-madura/
[3] Sumber : https://www.idntimes.com/hype/fun-fact/marisa-safitri/5-tradisi-maulid-nabi-di-indonesia-c1c2/full
[4] Ali Jum’ah, Bukan Bid’ah, penj: Baba Salem (Tangerang
Selatan:Lentera Hati,2012) hal.185-186
[5] Ibid.
[6] Ibid. Hal. 188
[7] Sumber: https://rumaysho.com/868-sejarah-kelam-maulid-nabi-2.html
[9] Ahmad Tsauri, Sejarah Maulid Nabi,(Pekalongan,Menara
Publisher,2015)hal.37
[10] Ahmad Tsauri, Sejarah Maulid Nabi,(Pekalongan,Menara
Publisher,2015)hal.249
إرسال تعليق