NU Bontang

Membumikan Semangat Bertoleransi



Konsep Islam Rahmatan lil Alamin adalah Iman, Islam, dan Ihsan. Iman berarti mengamankan dari hal-hal yang mengganggu. Islam maksudnya menyelamatkan dan Ihsan adalah berbuat kebaikan, kepada siapapun, memberi kasih sayang kepada siapapun.
Tidak diragukan lagi bahwa Islam sangat menganjurkan sikap toleransi, tolong-menolong, hidup yang harmonis dan dinamis di antara umat manusia tanpa memandang agama, bahasa, dan ras mereka. Allah SWT berfirman dalam (Q.S. al-Mumtahanah: 8-9)
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang  tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak (pula) mengusirmu dari negerimu. Sesungguhnya  Allah  menyukai  orang-orang  yang  berlaku  adil.  Allah  hanya  melarang kamu
menjadikan mereka sebagai kawanmu, (yaitu) orang-orang yang memerangimu dalam urusan agama dan mengusirmu dari kampung halamanmu, serta membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Barangsiapa yang menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang- orang yang zalim.”

Imam al-Syaukani menjelaskan bahwa ayat tersebut mengandung makna bahwa Allah tidak melarang umat Islam untuk berbuat baik kepada kafir dhimmi yaitu orang-orang non Muslim yang mengadakan perjanjian dengan umat Islam dalam menghindari perperangan dan tidak membantu non-Muslim lainnya dalam memerangi umat Islam. Di samping itu, ayat di atas juga menunjukkan bahwa Allah tidak melarang kita untuk bersikap adil dalam bermuamalah dengan mereka. Hal senada juga diungkapkan oleh Imam Ibn Katsir dalam tafsirnya, bahwa Allah tidak melarang umatnya untuk berbuat baik kepada orang-orang kafir yang tidak memerangi mereka dalam masalah agama, seperti berbuat baik dalam persoalan perempuan dan orang lemah.

Berdasarkan hal itu, Ali Mustafa Yaqub dalam sebuah bukunya menegaskan bahwa ayat ini merupakan dalil yang mewajibkan umat Islam untuk berbuat baik kepada non Muslim, selama mereka tidak memerangi dan mengusir umat Islam dari negeri mereka serta tidak membantu orang lain untuk mengusir umat Islam dari negeri mereka. Bahkan Nabi Muhammad SAW mengancam umat Islam yang memerangi non Muslim yang seperti ini dengan peringatan keras dan tegas untuk tidak memasukkan mereka ke dalam sorga. Dalam sebuah hadis riwayat  Bukhari, Rasulullah bersabda:


“Barangsiapa yang membunuh non-Muslim yang terikat perjanjian dengan umat Islam, maka ia tidak akan mencium keharuman sorga. Sesungguhnya keharuman sorga itu bisa dicium dari jarak 40 tahun perjalanan di dunia.” (H.R. Bukhari)

Dalam catatan sejarah diceritakan juga bagaimana santunnya Nabi ketika bergaul dengan orang- orang Yahudi dan kaum munafik ketika berada di Kota Madinah pascahijrah. Rasulullah tetap menerima sikap lahiriah mereka dan membiarkan para ahli kitab untuk memeluk agamanya dengan bebas. Bahkan beliau melarang para sahabatnya untuk memerangi dan menyakiti mereka. Banyak hadis-hadis sahih yang menjelaskan sikap toleransi yang dipegang teguh oleh Nabi ketika berinteraksi dengan orang-orang non Muslim di sekitarnya. Misalnya saja kisah Nabi yang pernah menggadaikan baju perangnya kepada Abu Syahm, seorang Yahudi. Begitu pula dengan sikap beliau dalam bergaul dengan sebagian tamu-tamu perempuan Yahudi serta keramahan beliau ketika menyambut orang-orang Nasrani Najran di Masjid Nabawi sebagaimana tersebut dalam riwayat Ibn Ishak dan Ibn Sa’ad.

Namun Ali Mustafa menegaskan bahwa sikap toleransi yang dimaksud di sini hanyalah dalam masalah keduniaan yang tidak berhubungan dengan permasalahan akidah dan ibadah. Adapun toleransi dalam masalah-masalah ini, yang menyebabkan seorang Muslim melaksanakan sebagian dari ritual non Muslim seperti Yahudi, Kristen, dan orang-orang musyrik lainnya, baik dalam perkataan, perbuatan, dan akidah adalah terlarang. Kendati demikian, sebagian ulama kontemporer ada yang membolehkan hal-hal seperti mengucapkan selamat hari raya kepada non Muslim selama sang Muslim yang bersangkutan tidak meyakini kebenaran dari ajaran agama mereka.

Konsep toleransi dalam Islam berbeda dengan paham pluralisme yang digembar-gemborkan oleh sebagian pemikir Muslim belakangan. Mereka menganggap bahwa semua ajaran agama bermuara kepada tujuan dan maksud yang sama, bahkan mereka menganggap benar semua agama-agama yang ada dan pemeluknya akan masuk surga bersama-sama dengan umat Islam kelak. Padahal sebenarnya tidak demikian, kita harus jeli dalam memahami persoalan ini. Memang benar Islam mengakui adanya pluralitas agama dengan dalil firman Allah SWT dalam surat al-Kafirun ayat ke-6 yang berbunyi: "Untukmu agamamu dan untukku agamaku”.

Ayat ini turun ketika sekelompok kafir Quraisy datang menghadap Nabi SAW, lalu mengajak Nabi untuk menyembah tuhan mereka selama satu tahun dan mereka pun akan menyembah sesembahan Nabi yaitu Allah SWT juga dalam waktu satu tahun. Lalu Allah menurunkan ayat ini, sebagai penegasan bahwa Islam tidak mengakui kebenaran ajaran agama-agama selain ajaran Islam sendiri, walaupun Islam mengakui keberadaan agama-agama tersebut.

Sehingga dapat disimpulkan di sini bahwa pengakuan Islam terhadap keberadaan agama lain telah ada semenjak masa Nabi Muhammad SAW sampai saat sekarang. Namun yang perlundigarisbawahi di sini adalah bahwa Islam tidak pernah mengakui kebenaran agama lain. Andaikata Islam mengakui kebenaran agama lain dan para pemeluknya akan masuk sorga bersama umat Islam, maka pelaksanaan dakwah kepada umat manusia tidak diperlukan lagi, karena mereka kelak akan masuk sorga bersama umat Islam. Padahal Nabi pada masa hidupnya senantiasa mendakwahkan Islam kepada setiap orang-orang musyrik yang berada di sekitar beliau, baik dari kalangan raja-raja, bangsawan, rakyat jelata, dan pemimpin-pemimpin non Muslim yang ada pada saat itu. Rasulullah pernah bersabda dalam sebuah hadis riwayat Muslim: 
Demi Allah yang menguasai jiwaku, tidak seorang pun yang mendengar diriku dari umat ini, baik Yahudi maupun Nasrani kemudian ia mati tanpa beriman kepada risalah yang kubawa melainkan ia menjadi penghuni neraka. (H.R. Muslim)



Dengan demikian, letak perbedaan antara toleransi dengan paham pluralisme agama dalam Islam sangat jelas. Islam mengakui dan sangat menganjurkan toleransi antar umat beragama. Namun sebaliknya Islam sangat menentang keras ajaran pluralisme yang membawa kepada keyakinan bahwa semua agama adalah benar. Karena satu-satunya agama di sisi Allah itu hanyalah Islam semata. (Ali ‘Imran: 19)

Post a Comment

أحدث أقدم