KH Said Aqil Siroj. Tak
kenal maka tak sayang. Barangkali peribahasa itu tepat untuk menggambarkan
keadaan Indonesia akhir-akhir ini, dimana orang tak hanya tak kenal dan tak
sayang, tetapi bahkan justru memfitnah, membenci dan memaki, dengan orang yang belum
dikenalnya di media.
Tak terkecuali, berbagai
fitnah, berita palsu (hoax) dan makian yang dialamatkan kepada Prof Dr KH Said
Aqil Siradj, MA, Ketua Umum Ormas Islam terbesar di dunia: Nahdlatul Ulama
(NU).
Untuk itu, tulisan ini
sedikit mengupas profil beliau, sosok santri yang dulu pernah menjabat sebagai
Ketua Majelis Wali Amanat Universitas Indonesia (MWA UI) itu dinobatkan oleh
Republika sebagai Tokoh Perubahan Tahun 2012 karena kontribusinya dan
komitmennya dalam mengawal keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
dan berperan aktif dalam perdamaian dunia, khususnya di kawasan Timur
Tengah.
Ketika usia negara ini masih
belia – delapan tahun – dan para pendiri bangsa baru beberapa tahun
menyelesaikan “status kemerdekaan” Indonesia di Konferensi Meja Bundar (KMB)
pada 1949, di sebuah desa bernama Kempek, Palimanan, Cirebon, Jawa Barat,
senyum bahagia KH Aqil Siroj mengembang. Tepat pada 3 Juli 1953, Pengasuh
Pesantren Kempek itu dianugerahi seorang bayi laki-laki, yang kemudian diberi
nama Said.
Said kecil kemudian tumbuh
dalam tradisi dan kultur pesantren. Dengan ayahandanya sendiri, ia mempelajari
ilmu-ilmu dasar keislaman. Kiai Aqil sendiri – Ayah Said – merupakan
putra Kiai Siroj, yang masih keturunan dari Kiai Muhammad Said Gedongan. Kiai
Said Gedongan merupakan ulama yang menyebarkan Islam dengan mengajar santri di
pesantren dan turut berjuang melawan penjajah Belanda. “Ayah saya hanya
memiliki sepeda ontel, beli rokok pun kadang tak mampu. Dulu setelah ayah
memanen kacang hijau, pergilah ia ke pasar Cirebon. Zaman dulu yang namanya
mobil transportasi itu sangat jarang dan hanya ada pada jam-jam tertentu,”
kenang Kiai Said dalam buku Meneguhkan Islam Nusantara; Biografi Pemikiran dan
Kiprah Kebangsaan (Khalista: 2015).
Setelah merampungkan mengaji
dengan ayahanda maupun ulama di sekitar Cirebon, dan umur dirasa sudah cukup,
Said remaja kemudian belajar di Pesantren Lirboyo, Kediri, Jawa Timur yang
didirikan oleh KH Abdul Karim (Mbah Manaf). Di Lirboyo, ia belajar dengan para
ustadz dan kiai yang merawat santri, seperti KH Mahrus Ali, KH Marzuki Dahlan,
dan juga Kiai Muzajjad Nganjuk.
Setelah selesai di tingkatan
Aliyah, ia melanjutkan kuliah di Universitas Tribakti yang lokasinya masih
dekat dengan Pesantren Lirboyo. Namun kemudian ia pindah menuju Kota Mataram,
menuju Ngayogyokarta Hadiningrat. Di Yogya, Said belajar di Pesantren
Al-Munawwir, Krapyak dibawah bimbingan KH Ali Maksum (Rais Aam PBNU 1981-1984).
Selain mengaji di pesantren
Krapyak, ia juga belajar di IAIN Sunan Kalijaga, yang ketika itu KH Ali Maksum
menjadi Guru Besar di kampus yang saat ini sudah bertransformasi menjadi UIN
itu. Ia merasa belum puas belajar di dalam negeri. Ditemani istrinya,
Nurhayati, pada tahun 1980, ia pergi ke negeri kelahiran Nabi Muhammad SAW: Makkah
Al-Mukarramah.
Di sana ia belajar di
Universitas King Abdul Aziz dan Ummul Qurra, dari sarjana hingga doktoral. Di
Makkah, setelah putra-putranya lahir, Kang Said – panggilan akrabnya – harus
mendapatkan tambahan dana untuk menopang keluarga. Beasiswa dari Pemerintah
Saudi, meski besar, dirasa kurang untuk kebutuhan tersebut. Ia kemudian bekerja
sampingan di toko karpet besar milik orang Saudi di sekitar tempat tinggalnya.
Di toko ini, Kang Said bekerja membantu jual beli serta memikul karpet untuk
dikirim kepada pembeli yang memesan. Keluarga kecilnya di Tanah Hijaz juga
sering berpindah-pindah untuk mencari kontrakan yang murah. “Pada waktu itu,
bapak kuliah dan sambil bekerja. Kami mencari rumah yang murah untuk menghemat
pengeluaran dan mencukupkan beasiswa yang diterima Bapak,” ungkap Muhammad
Said, putra sulung Kang Said.
Dengan keteguhannya hidup
ditengah panasnya cuaca Makkah di siang hari dan dinginnya malam hari, serta
kerasnya hidup di mantan “tanah Jahiliyyah” ini, ia menyelesaikan karya tesisnya
di bidang perbandingan agama: mengupas tentang kitab Perjanjian Lama dan
Surat-Surat Sri Paus Paulus.
Kemudian, setelah 14 tahun
hidup di Makkah, ia berhasil menyelesaikan studi S-3 pada tahun 1994, dengan
judul: Shilatullah bil-Kauni fit-Tashawwuf al-Falsafi (Relasi Allah SWT dan
Alam: Perspektif Tasawuf). Pria yang terlahir di pelosok Jawa Barat itu
mempertahankan disertasinya – diantara para intelektual dari berbagai dunia –
dengan predikat Cumlaude.
Ketika bermukim di Makkah,
ia juga menjalin persahabatan dengan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). “Gus Dur
sering berkunjung ke kediaman kami. Meski pada waktu itu rumah kami sangat
sempit, akan tetapi Gus Dur menyempatkan untuk menginap di rumah kami. Ketika
datang, Gus Dur berdiskusi sampai malam hingga pagi dengan Bapak,” ungkap
Muhammad Said bin Said Aqil.
Selain itu, Kang Said juga
sering diajak Gus Dur untuk sowan ke kediaman ulama terkemuka di Arab, salah
satunya Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki. Setelah Kang Said mendapatkan
gelar doktor pada 1994, ia kembali ke tanah airnya: Indonesia. Kemudian Gus Dur
mengajaknya aktif di NU dengan memasukkannya sebagai Wakil Katib ‘Aam PBNU dari
Muktamar ke-29 di Cipasung.
Ketika itu, Gus Dur
“mempromosikan” Kang Said dengan kekaguman: “Dia doktor muda NU yang berfungsi
sebagai kamus berjalan dengan disertasi lebih dari 1000 referensi,” puji Gus
Dur.
Belakangan, Kang Said juga
banyak memuji Gus Dur. “Kelebihan Gus Dur selain cakap dan cerdas adalah
berani,” ujarnya, dalam Simposium Nasional Kristalisasi Pemikiran Gus Dur, 21
November 2011 silam. Setelah lama akrab dengan Gus Dur, banyak kiai yang
menganggap Kang Said mewarisi pemikiran Gus Dur. Salah satunya disampaikan oleh
KH Nawawi Abdul Jalil, Pengasuh Pesantren Sidogiri, Pasuruan, ketika
kunjungannya di kantor PBNU pada 25 Juli 2011. Kunjungan waktu itu, merupakan
hal yang spesial karena pertama kalinya kiai khos itu berkunjung ke PBNU – di
dampingi KH An’im Falahuddin Mahrus Lirboyo.
Kiai Nawawi menganggap bahwa
Kang Said mirip dengan Gus Dur, bahkan dalam bidang ke-nyelenehan-nya.
“Nyelenehnya pun juga sama,” ungkap Kiai Nawawi, seperti dikutip NU Online.
“Terus berjuang di NU tidak
ada ruginya. Teruslah berjuang memimpin, Allah akan selalu meridloi,” tegas
Kiai Nawawi kepada orang yang diramalkan Gus Dur menjadi Ketua Umum PBNU di
usia lebih dari 55 tahun itu. Menjaga NKRI dan mengawal perdamaian dunia Pada
masa menjelang kemerdekaan, tepatnya pada tahun 1936, para ulama NU berkumpul
di Banjarmasin untuk mencari format ideal negara Indonesia ketika sudah merdeka
nantinya.
Pertemuan ulama itu
menghasilkan keputusan yang revolusioner:
(1) negara Darus Salam
(negeri damai), bukan Darul Islam (Negara Islam);
(2) Indonesia sebagai Negara
Bangsa, bukan Negara Islam. Inilah yang kemudian menginspirasi Pancasila dan
UUD 1945 yang dibahas dalam Sidang Konstituante – beberapa tahun kemudian.
Jadi, jauh sebelum
perdebatan sengit di PPKI atau BPUPKI tentang dasar negara dan hal lain
sebagainya, ulama NU sudah terlabih dulu memikirkannya. Pemikiran, pandangan
dan manhaj ulama pendahulu tentang relasi negara dan agama (ad-dien wa daulah)
itu, terus dijaga dan dikembangkan oleh NU dibawah kepemimpinan Kang Said.
Dalam pidatonya ketika
mendapat penganugerahan Tokoh Perubahan 2012 pada April 2013, Kiai Said
menegaskan sikap NU yang tetap berkomitmen pada Pancasila dan UUD 1945.
“Muktamar (ke-27 di Situbondo-pen) ini kan dilaksanakan di Pesantren Asembagus
pimpinan Kiai As’ad Syamsul Arifin. Jadi, pesantren memang luar biasa
pengaruhnya bagi bangsa ini. Meski saya waktu itu belum menjadi pengurus PBNU,”
kata Kiai Said, mengomentari Munas Alim Ulama NU 1983 dan Muktamar NU di
Situbondo 1984 yang menurutnya paling fenomenal dan berdampak dalam pandangan
kebangsaan. Sampai kini, peran serta NU dalam hal kebangsaan begitu kentara
kontribusinya, baik di level anak ranting sampai pengurus besar, di tengah
berbagai rongrongan ideologi yang ingin menggerogoti Pancasila sebagai dasar
negara. Hal ini tercermin dalam berbagai kegiatan dan program NU yang selalu
mengarusutamakan persatuan dan kesatuan bangsa.
Dalam konteks ini, Kiai Said
sangat berpengaruh karena kebijakan PBNU selalu diikuti kepengurusan dibawahnya
– termasuk organisasi sayapnya. Salah satu peran yang cukup solutif, misalnya,
ketika beliau menaklukkan Ahmad Mushadeq – orang yang mengaku sebagai Nabi di
Jakarta dan menimbulkan kegaduhan nasional – lewat perdebatan panjang tentang
hakikat kenabian (2007). “Alhamdulillah, doa saya diterima untuk bertemu ulama,
tempat saya bermudzakarah (diskusi). Sekarang saya sadar kalau langkah saya selama
ini salah,” aku Mushadeq.
Disisi lain, Kang Said juga
mengakui kehebatan Mushadeq. “Dia memang hebat. Paham dengan asbabun nuzul
Al-Qur’an dan asbabul wurud Hadits. Hanya sedikit saja yang kurang pas, dia
mengaku Nabi, itu saja,” jelas Kiai Said seperti yang terekam dalam Antologi
NU: Sejarah, Istilah, Amaliah dan Uswah (Khalista & LTN NU Jatim, Cet II
2014).
Kiai yang mendapat gelar
Profesor bidang Ilmu Tasawuf dari UIN Sunan Ampel Surabaya ini bersama pengurus
NU juga membuka dialog melalui forum-forum Internasional, khususnya yang
terkait isu-isu terorisme, konflik bersenjata dan rehabilitasi citra Islam di
Barat yang buruk pasca serangan gedung WTC pada 11 September 2001.
Ia juga kerapkali membuat
acara dengan mengundang ulama-ulama dunia untuk bersama-sama membahas
problematika Islam kontemporer dan masalah keumatan. Pada Jumat, 7 Maret 2014,
Duta Besar Amerika untuk Indonesia Robert O. Blake berkunjung ke kantor PBNU.
Ia menginginkan NU terlibat dalam penyelesaian konflik di beberapa negara. “Kami
berharap NU bisa membantu penyelesaian konflik di negara-negara dunia,
khususnya di Syria dan Mesir. NU Kami nilai memiliki pengalaman membantu
penyelesaian konflik, baik dalam maupun luar negeri,” kata Robert, seperti
dilansir NU Online. “Sejak saya bertugas di Mesir dan India, saya sudah
mendengar bagaimana peran NU untuk ikut menciptakan perdamaian dunia,”
imbuhnya.
Raja Yordania Abdullah bin
Al-Husain (Abdullah II) juga berkunjung ke PBNU. Ia ditemui Kiai Said, meminta
dukungan NU dalam upaya penyelesaian konflik di Suriah. “Di Timur Tengah, tidak
ada organisasi masyarakat yang bisa menjadi penengah, seperti di Indonesia.
Jika ada konflik, bedil yang bicara,” ungkap Kiai Said.
Selain itu, menguapnya kasus
SARA di Indonesia belakangan juga kembali marak muncul ke permukaan. “Munculnya
kerusuhan bernuansa agama memang sangat sering kita temukan. Hal ini
menunjukkan bahwa bangsa Indonesia harus terus belajar pentingnya toleransi dan
kesadaran pluralitas. Sikap toleransi tersebut dibuktikan oleh Kaisar Ethiopia,
Najashi (Negus) ketika para sahabat ditindas oleh orang-orang Quraisy di Mekkah
dan memutuskan untuk hijrah ke Ethiopia demi meminta suaka politik kepadanya.
Kaisar Negus yang dikenal sebagai penguasa beragama Nasrani itu berhasil
melindungi para sahabat Nabi Muhammad SAW dari ancaman pembunuhan kafir
Quraisy,” tulis Kiai Said dalam Dialog Tasawuf Kiai Said: Akidah, Tasawuf dan
Relasi Antarumat Beragama (Khalista, LTN PBNU & SAS Foundation, Cet II,
2014).
Menghadapi potensi konflik
horisontal itu, NU juga tetap mempertahankan gagasan Darus Salam, bukan Darul
Islam, yang terinspirasi dari teladan Nabi Muhammad dalam Piagam Madinah. Dalam
naskah tersebut, nabi membuat kesepakatan perdamaian, bahwa muslim pendatang
(Muhajirin) dan muslim pribumi (Anshar) dan Yahudi kota Yastrib (Madinah)
sesungguhnya memiliki misi yang sama, sesungguhnya satu umat.
Yang menarik, menurut Kiai
Said, Piagam Madinah – dokumen sepanjang 2,5 halaman itu – tidak
menyebutkan kata Islam. Kalimat penutup Piagam Madinah juga menyebutkan:
tidak ada permusuhan kecuali terhadap yang dzalim dan melanggar hukum. “Ini
berarti, Nabi Muhammad tidak memproklamirkan berdirinya negara Islam dan Arab,
akan tetapi Negara Madinah,” terang Kiai Said.
Selain itu, menurutnya,
faktor politis juga kerapkali mempengaruhi, bukan akidah atau keyakinan.
“Seperti di masa Perang Salib, faktor politis dan ekonomis lebih banyak
menyelimuti renggangnya keharmonisan kedua umat bersaudara tersebut di
Indonesia. Dengan demikian, kekeruhan hubungan Islam-Kristen tidak jarang
dilatarbelakangi nuansa politis yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan
agama itu sendiri,” ungkapnya, dalam buku Tasawuf Sebagai Kritik Sosial:
Mengedepankan Islam sebagai Inspirasi bukan Aspirasi.
Ditengah agenda Ketua Umum
PBNU yang sedemikian padat, Kiai Said dewasa ini diterpa berbagai fitnah,
hujatan dan bahkan makian dari urusan yang remeh-temeh sampai yang menyangkut
urusan negara. Ia dituduh agen Syiah, Liberal, antek Yahudi, pro Kristen, dan
fitnah-fitnah lain oleh orang yang sempit dalam melihat agama dan konsep
kemanusiaan dan kebangsaan.
Meski demikian, ia toh
manusia biasa – yang tak luput dari salah, dosa dan kekurangan – bukan seorang
Nabi. Artinya, kritik dalam sikap memang wajar dialamatkan, tetapi tidak dengan
hujatan, fitnah, dan berita palsu, melainkan dengan kata yang santun.
Terkait hal ini, dalam suatu
kesempatan ia memberi tanggapan kepada para haters-nya. Bukannya marah, Kiai
Said justru menganggap para pembenci dan pemfitnah itu yang kasihan. Dan
sebagai orang yang tahu seluk beluk dunia tasawuf, tentu dia sudah memaafkan,
jauh sebelum mereka meminta maaf atas segenap kesalahan. Wallahu a’lam.
Ahmad Naufa Khoirul Faizun,
Kader Muda NU dan Kontributor NU Online asal Purworejo, Jawa Tengah.
Sumber: https://www.nu.or.id/post/read/74726/mengenal-lebih-dekat-kh-said-aqil-siroj
Sumber: https://www.nu.or.id/post/read/74726/mengenal-lebih-dekat-kh-said-aqil-siroj
إرسال تعليق