Benarkah Muktamar NU Mengharamkan Tahlilan? (Bagian 1)
Entah yang ke berapa kalinya Ustadz ini selalu mencari pembenaran atas keyakinannya dengan menyalahkan saudara Muslimnya yang tidak sealiran dengannya. Kalau memang argumennya tepat dan sesuai, kita terima. Ternyata malah dia yang salah. Ini bukan sekedar salah paham, tapi pahamnya yang salah, seperti dalam syair Arab:
وكم من عائب قولا صحيحا • وآفته من الفهم السقيم
"Betapa banyak orang yang menyalahkan pendapat yang benar. Padahal berangkat dari pemahaman yang cacat" (Bahar Wafir)
Sudah seperti biasa, kelompok Salafi yang hendak melarang Tahlilan selalu berupaya mencari dalil di samping dalil yang mereka gunakan. Kali ini mereka memotong sepintas pemahaman yang mereka ambil dari keputusan Muktamar NU ke 2.
Perlu diingat bahwa dalam keputusan Muktamar NU tersebut memang dinyatakan makruh (bukan haram) dengan menampilkan 2 kitab. Pertama dari kitab I'anah Ath-Thalibin yang menghukumi makruh. Kedua dari kitab Fatawa Fiqhiyah Al-Kubra yang juga menghukumi makruh namun ada 'ruang' diperbolehkan.
Yaitu dalam Fatawa Fiqhiyah Al-Kubra 2/7 karya Imam Ibnu Hajar Al Haitami:
(ﻭﺳﺌﻞ) ﺃﻋﺎﺩ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻨﺎ ﻣﻦ ﺑﺮﻛﺎﺗﻪ ﻋﻤﺎ ﻳﺬﺑﺢ ﻣﻦ اﻟﻨﻌﻢ ﻭﻳﺤﻤﻞ ﻣﻊ ﻣﻠﺢ ﺧﻠﻒ اﻟﻤﻴﺖ ﺇﻟﻰ اﻟﻤﻘﺒﺮﺓ ﻭﻳﺘﺼﺪﻕ ﺑﻪ ﻋﻠﻰ اﻟﺤﻔﺎﺭﻳﻦ ﻓﻘﻂ ﻭﻋﻤﺎ ﻳﻌﻤﻞ ﻳﻮﻡ ﺛﺎﻟﺚ ﻣﻮﺗﻪ ﻣﻦ ﺗﻬﻴﺌﺔ ﺃﻛﻞ ﻭﺇﻃﻌﺎﻣﻪ ﻟﻠﻔﻘﺮاء ﻭﻏﻴﺮﻫﻢ ﻭﻋﻤﺎ ﻳﻌﻤﻞ ﻳﻮﻡ اﻟﺴﺎﺑﻊ ﻛﺬﻟﻚ ﻭﻋﻤﺎ ﻳﻌﻤﻞ ﻳﻮﻡ ﺗﻤﺎﻡ اﻟﺸﻬﺮ ﻣﻦ اﻟﻜﻌﻚ ﻭﻳﺪاﺭ ﺑﻪ ﻋﻠﻰ ﺑﻴﻮﺕ اﻟﻨﺴﺎء اﻟﻻﺗﻲ ﺣﻀﺮﻥ اﻟﺠﻨﺎﺯﺓ ﻭﻟﻢ ﻳﻘﺼﺪﻭا ﺑﺬﻟﻚ ﺇﻻ ﻣﻘﺘﻀﻰ ﻋﺎﺩﺓ ﺃﻫﻞ اﻟﺒﻠﺪ ﺣﺘﻰ ﺇﻥ ﻣﻦ ﻟﻢ ﻳﻔﻌﻞ ﺫﻟﻚ ﺻﺎﺭ ﻣﻤﻘﻮﺗﺎ ﻋﻨﺪﻫﻢ ﺧﺴﻴﺴﺎ ﻻ ﻳﻌﺒﺌﻮﻥ ﺑﻪ ﻭﻫﻞ ﺇﺫا ﻗﺼﺪﻭا ﺑﺬﻟﻚ اﻟﻌﺎﺩﺓ ﻭاﻟﺘﺼﺪﻕ ﻓﻲ ﻏﻴﺮ اﻷﺧﻴﺮﺓ ﺃﻭ ﻣﺠﺮﺩ اﻟﻌﺎﺩﺓ ﻣﺎﺫا ﻳﻜﻮﻥ اﻟﺤﻜﻢ ﺟﻮاﺯ ﻭﻏﻴﺮﻩ ﻭﻫﻞ ﻳﻮﺯﻉ ﻣﺎ ﺻﺮﻑ ﻋﻠﻰ ﺃﻧﺼﺒﺎء اﻟﻮﺭﺛﺔ ﻋﻨﺪ ﻗﺴﻤﺔ اﻟﺘﺮﻛﺔ ﻭﺇﻥ ﻟﻢ ﻳﺮﺽ ﺑﻪ ﺑﻌﻀﻬﻢ ﻭﻋﻦ اﻟﻤﺒﻴﺖ ﻋﻨﺪ ﺃﻫﻞ اﻟﻤﻴﺖ ﺇﻟﻰ ﻣﻀﻲ ﺷﻬﺮ ﻣﻦ ﻣﻮﺗﻪ ﻷﻥ ﺫﻟﻚ ﻋﻨﺪﻫﻢ ﻛﺎﻟﻔﺮﺽ ﻣﺎ ﺣﻜﻤﻪ
“Beliau ditanya semoga Allah mengembalikan barokah-Nya kepada kita. Bagaimanakah tentang hewan yang disembelih dan dimasak kemudian dibawa di belakang mayit menuju kuburan untuk disedekahkan ke para penggali kubur saja, dan TENTANG YANG DILAKUKAN PADA HARI KETIGA KEMATIAN DALAM BENTUK PENYEDIAAN MAKANAN UNTUK PARA FAKIR DAN YANG LAIN, DAN DEMIKIAN HALNYA YANG DILAKUKAN PADA HARI KETUJUH, serta yang dilakukan pada genap sebulan dengan pemberian roti yang diedarkan ke rumah-rumah wanita yang menghadiri proses ta’ziyah jenazah.
Mereka melakukan semua itu tujuannya hanya sekedar melaksanakan kebiasaan penduduk setempat sehingga bagi yang tidak mau melakukannya akan dibenci oleh mereka dan ia akan merasa diacuhkan. Kalau mereka melaksanakan adat tersebut dan bersedekah tidak bertujuaan (pahala) akhirat, maka bagaimana hukumnya, boleh atau tidak?
Apakah harta yang telah ditasarufkan, atas keingnan ahli waris itu masih ikut dibagi/dihitung dalam pembagian tirkah/harta warisan, walau sebagian ahli waris yang lain tidak senang pentasarufan sebagaian tirkah bertujuan sebagai sedekah bagi si mayit selama satu bulan berjalan dari kematiannya. Sebab, tradisi demikian, menurut anggapan masyarakat harus dilaksanakan seperti “wajib”, bagaimana hukumnya.”
(ﻓﺄﺟﺎﺏ) ﺑﻘﻮﻟﻪ ﺟﻤﻴﻊ ﻣﺎ ﻳﻔﻌﻞ ﻣﻤﺎ ﺫﻛﺮ ﻓﻲ اﻟﺴﺆاﻝ ﻣﻦ اﻟﺒﺪﻉ اﻟﻤﺬﻣﻮﻣﺔ ﻟﻜﻦ ﻻ ﺣﺮﻣﺔ ﻓﻴﻪ ﺇﻻ ﺇﻥ ﻓﻌﻞ ﺷﻲء ﻣﻨﻪ ﻟﻨﺤﻮ ﻧﺎﺋﺤﺔ ﺃﻭ ﺭﺛﺎء ﻭﻣﻦ ﻗﺼﺪ ﺑﻔﻌﻞ ﺷﻲء ﻣﻨﻪ ﺩﻓﻊ ﺃﻟﺴﻨﺔ اﻟﺠﻬﺎﻝ ﻭﺧﻮﺿﻬﻢ ﻓﻲ ﻋﺮﺿﻪ ﺑﺴﺒﺐ اﻟﺘﺮﻙ ﻳﺮﺟﻰ ﺃﻥ ﻳﻜﺘﺐ ﻟﻪ ﺛﻮاﺏ ﺫﻟﻚ ﺃﺧﺬا ﻣﻦ ﺃﻣﺮﻩ - ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ - ﻣﻦ ﺃﺣﺪﺙ ﻓﻲ اﻟﺼﻼﺓ ﺑﻮﺿﻊ ﻳﺪﻩ ﻋﻠﻰ ﺃﻧﻔﻪ ﻭﻋﻠﻠﻮﻩ ﺑﺼﻮﻥ ﻋﺮﺿﻪ ﻋﻦ ﺧﻮﺽ اﻟﻨﺎﺱ ﻓﻴﻪ ﻟﻮ اﻧﺼﺮﻑ ﻋﻠﻰ ﻏﻴﺮ ﻫﺬﻩ اﻟﻜﻴﻔﻴﺔ
Ibnu Hajar menjawab bahwa semua yang dilakukan sebagaimana yang ditanyakan di atas termasuk bidah yang tercela tetapi tidak sampai haram (makruh), kecuali jika prosesi penghormatan pada mayit di rumah ahli warisnya itu bertujuan untuk “meratapi” atau memuji secara berlebihan (bisa jadi haram).
Dalam melakukan prosesi tersebut, ia harus bertujuan untuk menghindari perkataan orang-orang bodoh, agar mereka tidak menodai kehormatan dirinya, gara-gara ia tidak mau melakukan prosesi penghormatan di atas. Dengan sikap demikian, diharapkan ia mendapatkan pahala setara dengan realisasi perintah Nabi terhadap seseorang yang batal (karena hadats) shalatnya untuk menutup hidungnya dengan tangan. Ini demi untuk menjaga kehormatan dirinya, jika ia berbuat di luar kebiasaan masyarakat.
Tahlilan Menurut Pendiri NU
Muktamar NU ke-2 masih di masa hidupnya Rais Akbar NU. Andaikan haram maka sudah pasti Rais Akbar NU, KH Hasyim, Asy'ari juga mengharamkan. Nyatanya beliau tidak mengharamkan.
Mengapa NU dalam suguhan hidangan menghukumi makruh namun masih diamalkan? Sebab ada ruang diperbolehkan yaitu ketika hal-hal terlarang dihindari, misalnya tidak diambil dari harta anak yatim. Terbukti, pendapat pendiri NU sekaligus Rais Akbar Hadlratusy Syekh KH Hasyim Asy'ari membolehkan:
فَإِذَا عَرَفْتَ مَا ذُكِرَ تَعْلَمُ أَنَّ مَا قِيْلَ أَنَّهُ بِدْعَةٌ كَاتِّخَاذِ السَّبْحَةِ وَالتَّلَفُّظِ بِالنِّيَةِ وَالتَّهْلِيْلِ عِنْدَ التَّصَدُّقِ عَنِ الْمَيِّتِ مَعَ عَدَمِ الْمَانِعِ عَنْهُ وَزِيَارَةِ الْقُبُوْرِ وَنَحْوِ ذَلِكَ لَيْسَ بِبِدْعَةٍ (رسالة أهل السنة والجماعة صـ 8)
“Jika anda mengetahui apa yang telah disebutkan (tentang 5 macam Bid’ah), maka anda akan mengetahui tentang tuduhan “Ini adalah bid’ah”, seperti menggunakan tasbih, mengucapkan niat, TAHLIL KETIKA SEDEKAH UNTUK MAYIT DENGAN MENGHINDARI HAL-HAL YANG DILARANG, ziarah kubur dan sebagainya, BUKANLAH BID’AH.” (Risalah Ahlisunnah wal Jamaah hal. 8)
Fatwa Ulama Syafi'iyah Di Yaman
Apa yang dilakukan oleh Nahdliyyin bukan mereka sendiri yang membuat-buat amalan seperti ini, namun juga telah diamalkan di negeri Yaman. Berikut buktinya:
(مَسْئَلَةُ ش) أَوْصَى بِتَهَالِيْلَ سَبْعِيْنَ أَلْفًا فِي مَسْجِدٍ مُعَيَّنٍ وَأَوْصَى لِلْمُهَلِّلِيْنَ بِطَعَامٍ مَعْلُوْمٍ فَالْمَذْهَبُ عَدَمُ حُصُوْلِ الثَّوَابِ بِالتَّهَالِيْلِ اِلاَّ اِنْ كَانَ عِنْدَ الْقَبْرِ عَلَى الْمُعْتَمَدِ وَفِي وَجْهٍ حُصُوْلُهُ مُطْلَقًا وَهُوَ مَذْهَبُ الثَّلَاثَةِ بَلْ قَالَ ابْنُ الصَّلَاحِ يَنْبَغِي الْجَزْمُ بِنَفْعِ اللَّهُمَّ أَوْصِلْ ثَوَابَ مَا قَرَأْنَاهُ اِلَى رُوْحِ فُلَانٍ .... (بغية المسترشدين للسيد عبد الرحمن باعلوي الحضرمي 195)
“(Fatwa Syekh al-Asykhar) Jika seseorang berwasiat dengan Tahlilan sebanyak 70.000 kali di masjid tertentu dan ia berwasiat untuk orang-orang yang melakukan Tahlil dengan makanan tertentu, maka dalam madzhab Syafii tidak sampainya pahala Tahlil, KECUALI dilakukan di dekat kubur. Dalam satu pendapat ulama Syafiiyah bisa sampai secara MUTLAK (baik di masjid, di rumah atau di kuburan). Ini adalah pendapat 3 madzhab. Bahkan Ibnu Shalah berkata: “Dianjurkan untuk yakin dengan manfaatnya doa: Ya Allah, sampaikanlah pahala yang kami baca untuk ruh si fulan....” (Syaikh Abdurrahman Ba’Alawi al-Hadlrami, Bughyat al-Mustarsyidin, hal. 195)
oleh: KH. Ma'ruf Khozin, Direktur Aswaja NU Center PWNU Jatim
إرسال تعليق