Wakil Presiden K.H. Ma’ruf Amin di berbagai forum saat ditanya tentang khilafah, “tertolak”, tegasnya. Bukan ditolak tapi otomatis tertolak karena Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berdasarkan Pancasila dan UUD 45 adalah hasil kesepakatan. Di sidang gugatan pencabutan badan hukum HTI, dua tahun yang lalu, sebagai penggugat M. Ismail Yusanto (Jurubicara HTI), menggugat kesepakatan tersebut. Katanya, “kalau NKRI hasil kesepakatan, bukan kah suatu kesepakatan bisa diubah”.
Pada prinsipnya suatu kesepakatan boleh diubah bahkan harus diubah jika kesepakatan tersebut merupakan kesepakatan yang batil untuk berbuat maksiat. Misalnya bersepakat untuk membunuh, mencuri atau memperkosa. Pihak-pihak yang bersepakat melakukan perbuatan-perbuatan haram tersebut, harus melepas kesepakatannya tanpa menunggu perintah. Karena ini kesepakatan yang dilarang oleh agama.
Dulu para Founding Father (Muassis) NKRI membuat kesepakatan mendirikan negara untuk tujuan yang syar’i. Bukan untuk tujuan maksiat kepada Allah SWT. Tujuan-tujuan tersebut tercantum dalam Pembukaan UUD 45 alinea ke-4 yang berbunyi: "Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial…”
Tujuan-tujuan pendirian NKRI, tujuan yang Islami. Tujuan-tujuan yang disepakati tersebut meliputi warga negara, bangsa dan negara Indonesia. Baik muslim maupun non muslim. Di luar itu, meski beraqidah Islam, umat Islam yang bukan warga negara Indonesia tidak ikut, tidak tercakup dan tidak terikat dalam kesepakatan tersebut.
Seperti Piagam Madinah. Piagam Madinah bersifat terbatas bagi warga negara Madinah. Dari suku dan agama apapun, asal warga negara Madinah terikat dengan kesepakatan. Selain warga negara Madinah, meski muslim tidak termasuk dalam kesepakatan. Misalnya umat Islam yang berada di Mekkah. Mereka yang tidak ikut hijrah ke Madinah karena berbagai udzur. Dan kaum muslim yang tinggal di Habasyah yang hijrah ke sana sebelum Nabi saw hijrah ke Madinah.
Kesepakatan NKRI yang berdasarkan Pancasila dan UUD 45 dan kesepakatan Piagam Madinah, sama-sama kesepakatan politik yang mengikat setiap warga negara. Kesepakatan yang bukan berdasarkan agama dan suku tertentu. Sebab itu, kesepakatan ini wajib dijaga. Tidak boleh diubah. Gugatan M. Ismail Yusanto untuk mengubah NKRI menjadi khilafah karena alasan NKRI hanya lah hasil kesepakatan politik, tertolak selamanya.
Di samping itu, sebuah kesepakatan hanya bisa diubah oleh pihak-pihak yang membuat kesepakatan. Contohnya, kesepakatan soal harga suatu barang. Kesepakatan ini hak mutlak penjual dan pembeli. Hanya penjual dan pembeli yang boleh mengubah kesepakatan mereka. Tidak boleh ada pihak lain yang mengubah harga yang telah mereka sepakati.
Dalam konteks kesepakatan pendirian NKRI, pihak-pihak yang terlibat adalah Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Syarikat Islam, kelompok nasionalis dan perwakilan agama Kristen. Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) tidak ikut dalam kesepakatan tersebut. HTI tidak berhak mengubahnya. Sangat tidak etis, M. Ismail Yusanto berkomentar bahwa kesepakatan pendirikan NKRI bisa diubah, sedangkan HTI bukan termasuk pihak yang ikut dalam kesepakatan.
Bukan cuma di Indonesia, di Suriah pun, khilafah tertolak. Khilafah yang dideklarasikan oleh ISIS, ditolak oleh pejuang khilafah yang lain, al-Qaeda dan Hizbut Tahrir. Terlepas dari apa alasan penolakan tersebut. Khilafah versi Hizbut Tahrir juga ditolak oleh milisi-milisi di Suriah. Delegasi Hizbut Tahrir pernah mendatangi ISIS.
Dalam rilis resmi yang dikeluarkan Hizbut Tahrir, delegasi tersebut datang untuk menyampaikan kritik bahwa khilafah ISIS itu buatan Amerika. Sebenarnya bukan menyampaikan kritik, melainkan mau minta nushrah. Oleh ISIS, delegasi Hizbut Tahrir bukan diberi nushrah, malah dieksekusi mati oleh tentara khilafah.
إرسال تعليق