Oleh : Miftahul Alim (Ketua LTN-NU Bontang)
Kartini, seorang tokoh pelopor kebangkitan perempuan yang hidup pada abad 18 lalu, hasil karyanya masih dikenang hingga saat ini. Habis gelap terbitlah terang, sebuah buku yang berisikan kumpulan surat yang perna ditulis olehnya, seakan menjadi ikon yang tak terlepaskan dari sosok pahlawan wanita ini. Namun ada sisi lain, sisi religius wanita ini yang jarang diungakap. Karena sejarah ini tidak tertuang dalam kurikulum baku sekolah.
Kartini adalah sosok yang menginisiasi Sang Maha Guru Ulama Nusantara, KH. Sholeh Darat dalam menulis tafsir Al-Qur'an pertama di Nusantara dalam Bahasa Jawa. Tafsir itu diberi nama Tafsir Faid ar-Rahman. Kepiawaian Sang Kyai untuk menjelaskan tafsir surat al-Fatihah membuat Kartini muda kala itu terbelalak kagum. Dia bahkan tidak menoleh sedikitpun ke arah lain saking kagumnya saat mendengarkan pengajian Kyai Sholeh Darat dibalik tirai. Dia baru menemukan sosok Kyai yang mampu mengejawantahkan tafsir seperti Kyai Sholeh Darat. Menjelaskan dengan bahasa Jawa, membuatnya semakin paham dengan penjelasan yang disampaikan oleh Sang Kyai.
Kartini merasa sangat beruntung, sebelumnya dia menganggap bacaan fatihah yang selama ini ia baca hanya sekedar bacaan saja tanpa tahu hikmah, arti, maksud, dan tujuannya. "Selama ini bacaan al-Fatihah gelap bagi saya, saya tidak mengerti sedikitpun apa maknanya. Tetapi hari ini ia menjadi terang benderang sampai kepada makna tersirat sekalipun. Karena Romo Kyai menjelaskan dalam bahasa Jawa yang saya pahami" ujar Kartini.
Bermulai dari sini, Kartini pun meminta kepada Sang Kyai agar sudi kiranya menerjemahkan Al-Qur'an ke dalam bahasa Jawa, bahasa yang ia pahami, bahasa yang dipahami mayoritas masyarakat kala itu.
Saat itu Indonesia masih menjadi bagian dari negeri Hindia Belanda. Artinya masih dalam penguasaan/daerah jajahan Belanda. Penjajah Belanda secara resmi melarang orang menerjemahkan Al-Qur'an. Mereka tak segan membakar terjemahan Al-Qur'an, baik ditulis dengan aksara latin maupun aksara jawa. Karena kecerdikan Kyai Sholeh Darat, beliau menggunakan pegon untuk menulis terjemahan Al-Qur'an ke dalam bahasa jawa. Pegon itu tulisan menggunakan huruf-huruf hija'iyah tetapi penulisannya menggunakan bahasa Jawa atau bahasa daerah.
Yah, itulah sekelumit kisah RA. Kartini yang luar biasa. Seorang perempun, tetapi tidak padam dengan status gendernya. Ia tetap bisa berbinar ditengah-tengah kodratnya yang lain yang harus ia jalani.
Dalam kesempatan sore itu, pada acara Halal bi Halal di Pondok Pesantren Tahfidz Nurul Cholil, saya menyampaikan kisah ini. Tentu dengan bahasa saya. Melihat audiens yang hadir, yang mayoritas perempuan (wali santri) , kebetulan juga dihadiri oleh Wakil Wali Kota Bontang Ibu Najirah yang juga perempuan, dan pengasuh Pesantren Tahfidz Nurul Cholil yang juga perempuan.
Saya merasa perlu mengangkat kisah inspiratif ini agar mereka melihat. Disekitar mereka ada semangat kartini yang membara. Seorang wanita muda, hafalannya telah selesai 30 juz, dan menjadi pengasuh di pesantren. Walaupun saat ini pesantrennya belum besar, setidaknya apa yang ada dan bisa disaksikan sekarang menjadi bukti bahwa dia, bu nyai muda ini memiliki jiwa juang yang gigih.
Saya mengikuti sedikit banyak perkembangannya dalam dakwahnya mengajarkan Al-Qur'an. Dari mulai hanya sekedar menjadi pembina di rumah tahfidz, menumpang tinggal di pondok, sampai dia memutuskan untuk menyewa rumah kontrakan sebagai tempat pesantren yang diasuhnya.
Mengemban tiga tanggung jawab besar sekaligus tentu bukan perkara mudah. Ia memiliki tanggung jawab untuk menjaga Al-Qur'annya (hafalannya), sebagai seorang istri ia juga memiliki tanggung jawab kepada suaminya, sebagai seorang pengasuh pesantren, ia juga memiliki tanggung jawab kepada para santri dan wali santrinya. Ia saat ini juga mendapat amanah untuk menjadi ketua IPPNU kota Bontang. Dan sebentar lagi dia akan memiliki amanah juga tanggung jawab baru. Yaitu menjadi seorang ibu.
Nurul Sani. Mungkin saat ini dia menjadi pengasuh pondok tahfidz perempuan termuda di Kota Bontang, atau mungkin di Kalimantan Timur. Mengingat usianya yang masih 22 Tahun, tetapi apa yang dilakukan dapat menginspirasi bagi orang lain.
Yang lebih menakjubkan adalah, tidak semua santrinya diwajibkan untuk membayar dengan patokan uang bulanan paten. Mereka dilonggarkan untuk membayar semampunya. Pesantrennya bisa hidup dan berjalan berkat jasa para donatur yang mau menyisihkan sebagian rizkinya untuk pesantren yang ia asuh. Saat ini ada sekitar 22 santri yang menghafalkan Al-Qur'an dibawah bimbingannya. Sebagian menetap, sebagian lagi pulang pergi.
Di era modern seperti sekarang banyak wanita atau ibu muda memilih untuk menjadi wanita karir, pekerja, pebisnis dan lain sebagainya. Nurul Sani pun sama, ia juga mengajar di lembaga formal, dia juga menjalankan usaha kuliner dan beberapa produk untuk dijual secara online, disisi lain ia juga menjadi wanita karir, wanita karir yang secara khusus berkarir mengabdikan diri untuk berjuang mencetak generasi-generai Qur'ani.
Semoga apa yang telah kamu lakukan menjadi amal jariyah dan saksi kegigihanmu dihadapan Allah kelak. Semoga langkah-langkahmu untuk membawa segudang tanggung jawab itu senantiasa dimudahkan.
Aamiinn..
إرسال تعليق