Berikut ini hasil kajian dan diskusi Lakpesdam NU Kota Bontang tentang Kedudukan Perempuan Dalam Islam. Diskusi dihadiri pengurus Lakpesdam diantaranya:
Jehan Fiqhi Yudhistira, L.c, M.Sosio.
Ahmad Fauzi Manshur, S.Pd.
Akhmad Suhadak, S.Pd.I.
Inggar, S.Pd.
Hikmat Abdurrachman, S.Pd.I., M.Ag.
Lutfi Hakim, S.Pd.
Berikut rangkuman hasil kajiannya.
I.
Pendahuluan
Islam diyakini pemeluknya sebagai
agama yang sempurna, yang mengatur tidak hanya hubungan vertikal, tetapi juga
mengatur hubungan horizontal. Ajaran tauhid menanamkan keyakinan bahwa tidak
ada penghambaan kecuali kepada Allah. Penghambaan terhadap manusia atas manusia
lainya tidak dapat dibenarkan dan merupakan tindakan kemusrikan. Dari situ
muncul pandangan egalitarian, yaitu tidak ada perbedaan yang didasarkan etnik
dan jenis kelamin. Dalam pandangan Tauhid semua manusia memiliki hak asasi yang
sama. Keunggulan seseorang tidak diukur oleh ukuran-ukuran primordial, tetapi
oleh kualitas ketakwaan.
Hak asasi manusia merupakan bagian
integral dari ajaran islam yang meletakkan dasardan prinsip-prinsip penghargaan
serta penghormatan pada manusia sebagaimana diterangkan baik dalam Al Quran
maupun hadits. Hak-hak dasar manusia tersebut antara lain hak dipelakukan
secara sam, baik dalam struktur masyarakat maupun kedudukannya dimuka hukum.
II.
Rumusan Masalah
1.
Keadilan dan Persamaan antar Sesama
Manusia
2.
Bagaimana Pandangan Islam dalam
konteks Kepemimpinan Perempuan
3.
Peran Publik Perempuan dalam
Tinjauan Islam
4.
Problematika seputar Fiqih keluarga
III.
Pembahasan
A.
Keadilan dan Persamaan antar Sesama
Manusia
Islam sangat jelas menyatakan pentingnya keadilan dan persamaan
antar sesama manusia, termasuk didalamnya antara laki-laki dan perempuan.
Rasulullah datang dengan membawa sejumlah perubahan besar terhadap kedudukan
dan posisi perempuan dari tradisi sebelumnya. Perubahan besar terhadap
perempuan pasca datangnya ajaran islam antara lai:
1.
Waris, meskipun bagianya masih
dibawah laki-laki
2.
Relasi suami istri dalam keluarga
dengan pembatasan jumlah istri yang boleh dimadu dan hak untuk memiliki
hartanya sendiri.
3.
Sejumlah ajaran ditetapkan untuk
mengangkat kedudukan perempuan, seperti prinsip-prinsip kasih sayang
4.
Ditetapkanya masa idah serta hak
untuk melakukan kerja profesional.
Namun demikian, pada realitasnya masih terdapat problematika
menyangkut kesetaraan dan peran perempuan, baik dalam ruang publikmaupun
domestik.Gus dur memberikan perhatian cukup serius terhadap masalah perempuan.
Tidak hanya memandang dari perspektif hak asasi, tetapi juga menggunakan
perspektif fiqih. Menurutnya islam memberi penghargaan yang tinggi terhadap
perempuan dengan memberikan kemulyaan dan perlindungan yang secara prinsip
tercakup dalam kulliyat al khoms, yaitu:
1.
Perempuan maupun laki-laki sama-sama
memilikihak dasar keselamatan fisik, baikdalam lingkup domestik maupun ruang
publik.
2.
Hak dasar akan keselamatan keyakinan
dari pemaksaan
3.
Hak dasar akan keselamatan kesucian
dan keselamatan keluarga
4.
Hak dasar akan keselamatan milik
pribadi
5.
Hak akan keselamatan profesi atau
pekerjaan
Hanya saja prihal kesamaan hak tersebut, sering kali dikacau oleh
anggapan bahwa islam menentannya dengan didasarkan pada Q.S. An-Nisa ayat 34
dan hadits yang artinya, “ jangan serahkan urusan penting pada
perempuan“.Walaupun Gus dur mengakui adanya perbedaan antara laki-laki dan
perempuan, sebagaimana terungkap dalam ayat dan hadits diatas, namun hal
tersebut harus dipahami secara proporsional dan kontekstual.
B.
Kepemimpinan perempuan
Sebagian masyarakat muslim menolak peran perempuan dalam
kepemimpinan islam dan sebagian yg lain menuntut dipenuhinya hak tersebut. Dua
pandangan tersebut mempunyai landasan argumentasi Qs An Nisaayat 34 dan hadits
yg menerangkan tentang tidak akan bahagia suatu kaum yg menyerahkan urusanya
pada perempuan, hadits tentang larangan perempuan menjadi imam sholat bagi
laki, dan hadits yg menyatakan bahwa perempuan hanya memiliki separuh akal dari
laki2.
Berbeda dengan pandangan tersebut,
disisi yang bersebrangan berpandangan bahwa perempuan yang memiliki
kapasitas mumpuni berhak menjadi kepala negara. Menanggapi berbagai pandangan
tersebut Gus dur melihat pentingnya hak laki-laki dan perempuan secara
berimbang, karena memang islam menilai seperti itu. Dalam hal ini Gus dur
mengawali analisisnya dengan merujuk pada QS.Al Hujurat 13. Ayat tersebut
menunjukkan bahwa realitas penciptaan manusia secara gender, suku, dan bangsa
adalah plural. Perbedaan yg dikemukakan dalam ayat tersebut bersifat biologis,
bukan perbedaan institusional atau kelembagaan. Apa yang digambarkan gus dur
tersebut menunjukkan mengakarnya suatu pandangan yang telah berabad-abad
lamanya. Pandangan mereka tidak sejalan dengan apa yang dirumuskan
undang-undang, yang memberi hak sama kepada perempuan. Seolah-olah ada benturan
antara agama dengan negara. Selain itu Gus dur juga melihat bahwa hadits
tersebut berkaitan dengan sistem kepemimpinan arab abad VII sampai IX yang
berbentuk kepemimpinan suku dan perseorangan. Sedangkan sekarang bersifat
kelembagaan. Dari ulasan tersebut, walaupun tidak secara eksplisit, gus dur
mengakui bahwa perempuan memiliki hak untuk menjadi pemimpin kalau memiliki
kemampuan untuk itu. Alasan lain dapat dilihat dari sikapnya yang mengamini
pendirian kiai NU yang menyetujui penerimaan siswa putri bagi sekolah hakim
agama. Hal tersebut menunjukkan ada penerimaan akan keterlibatan perempuan
dalam peran publik.
C.
Peran Publik Perempuan
Di indonesia, para perempuan tidak hanyq diam di rumah dan
mempunyai anak, tetapi ikut bekerja membantu suami. Kondisi ini semakin
berkembang dengan semakin signifikanya peran perempuan, baik sebagai guru,
anggota DPR, maupun profesi yang lain. Realitas di Indonesia tersebut menurut
gus dur jauh berbedan dengan sosial budaya masyarakat arab. Perubahan kondisi
dan realitas tersebut berpengaruh pada perubahan hukum khalwat bagi perempuan,
berkumpulnya perempuan dan laki-lakidalam suatu tempat dan perempuan bepergian
tanpa dikawal oleh anak atau suami. Menurutnya situasi dan kondisi sekarang
berbeda dengan dulu. Kondisi sekarang aman, berjualan di pasar aman, di ruang
kelas aman, maka campur dikelas antara laki-laki dan perempuan tidak masalah. Karenanya walaupun menyadari
ada efek, termasuk meningkatnya hubungan seksual diluar nikah, terutama
perempuan karir. Meski demikian gus dur tidak setujudengan peraturan daerah yg
mencoba menghalangi hak bekerja perempuan seperti yang ada di provinsi Sumatra
barat.
Apa yg dikemukakan gus dur memiliki rujukan dalam historis islam
awal. Fenomena perempuan bekerja sudah terjadi, bahkan diantaranya terlibat
dalam peperangan. Terdapat sejumlah nama dalam sejarah islam,
perempuan-perempuan bekerja diluar rumah., seperti khodijah, ummi bani ammar, zainab
binti Jahsy dan As-Syifa.
Melihat dari berbagai permasalahan tersebut, gus dur memandang
penting dilakukanya reaktualisasi atau pribumisasi fiqih. Dalam tulisanya gus
dur mengatakan :
"... jika ingin dibuat fiqih indonesia, maka entri poinya harus
dari soal ini. Artinya melalui fiqih yang melihat kenyataan indonesia, seperti
kenyataan boleh perempuan menjadi guru agama, menjadi hakim, bahkan presiden.
"
Pandangan gus dur tersebut merujuk pada kaidah fiqih al hukmu
yaduru ma'a al illat wujudan wa 'adaman dan sekaligus berpegang pada maqosid
syari'ah. Pernyataan bahwa situasi dan kondisinya aman menunjukkan bahwa
kekhawatiran akan terjadinya mafsadah dapat dihindari.
Dari uraian tersebut jelas bahwa gus
dur menyadari adanya kesenjangan antara ajaran islam yang menjadi patokan
tunggal sejak lama dengan kenyataan yang berkembang. Pandangan seperti itu
sangat penting untuk dijadikan paradigma dalam merumuskan pandangan islam
tentangb persamaan hak-hak perempuan.
D.
Fiqih keluarga
Pernikahan dalam islam, walaupun ada mahar yang harus diserahkan
kepada istridan menyebabkan halalnya hubungan seksual antara suami dan
istri,bukanlah semata-mata transaksi jual beli sehingga suami memiliki
istrinya. Setelah melakukan pernikahan, perempuan bukan berarti kehilangan
haknya sebagai manusia, melainkan masing-masing memiliki hak dan kewajiban.
Meskipun secara prinsip aturan pernikahan tersebut menunjukkan perbaikan atas
status dan kedudukan perempuan, terdapat ketentuan-ketentuan fiqih yang dalam
pelaksanaanya masih terdapat problematik dan bahkan memunculkan gugatan.
Terdapat sejumlah hal yang sebelumnya tidak menjadi masalah, kini dipersoalkan,
misalnya;
1.
hak reproduksi,
Gus dur melihat
bahwa reproduksi merupakan suatu keniscayaan bagi manusia. Hal tersebut dapat
dilihat dalam Q.S. An-Nisa ayat 1 yang menjelaskan bahwa dari jiwa yang satu
diciptakan seorang istri yang dari keduanya tercipta laki-laki dan perempuan.
Fungsi reproduksi ini sudah mutlak dalam diri manusia. Namun demikian, kalau
ada orang menikah tidak ingin punya anak itu diperbolehkan, karena hal tersebut
bukan kewajiban, melainkan keinginan tersebut tidak sesuai dengan kodratnya. Di
indonesia belakangan ini menghadapi problem kependudukan, yaitu peningkatan
jumlah pendudukmenjadi tak terkendali. Pada masa orde baru pemerintah
mengeluarkan kebijakan pembatasan kelahiransebagai solusi alternatif. Kebijakan
ini menuai kontroversi dikalangan ulama. MUI memberikan keputusan bahwa kalau
yang dimaksud adalah pengaturan jarak maka hukumnya boleh. Namun jika memutus
kelahiran sama sekali maka hukumnya haram. Keputusan tersebut hampir sama
dengan keputusan muktamar NU ke 28 tahun 1989, hanya saja untuk pemutusan yang
sifatnya temporal hukumnya mkruh dan yang permanen hukumnya haram.
2.
poligami
Poligami dapat
ditemukan dengan mudah keberadaanya, baik dalam praktik maupun literatur fiqih.
Hal ini dapat dimaklumi karena selain terdapat sandaran dalil. Perdebatan
dikalangan ulama terkait dengan persyaratan dan keadilan dalam poligami, juga
masih tetap hangat. Gugatan yang berkisar tentang hukum poligami, prasyarat
keadilan, dan akhirnya bermuara pada intepretasi terhadap nusus yang bisa
dijadikan rujukan terhadap bolehnya poligami.
Sementara itu, terkait dengan
poiligami secara detail, terutama kaitanya dengan HAM, pembicaraan diarahkan
pada aspek keadilan yang menjadi dasar pertimbangan berpoligami. Keadilan yang
menjadi penekanan pesan Al Quran sebagai ukuran kebolehan poligami, tidak
diatur secara kuat pengawalanya. Apalagi pada praktiknya sering kali
pertimbanganya diserahkan kepada subjek.hal tersebut terbukti bahwa dalam
kitab-kitab fiqih dalam masalah poligami tidak disyaratkan meminta izin pada
istri. Gusdur memberikan penjelasan:
Jika kita membuka kitab-kitab fiqih
dalam masalah poligami tidak disyaratkan meminta izin pada istri, tetapi dalam
poligami itu pesan Al Quran harus adil, maka istri pertama harus memberi izin.
Dari uraian
tersebut gus dur tidak secara tegas menolak poligami, walaupun tidak tegas
menyatakan kesetujuanya, karena secara fiqih diperbolehkan.namun demikian gus
dur memberikan penekanan pada pentingnya keadilan dengan mengemukakan Q.S.
An-Nisa ayat 3 yang artinya, kalau kamu sekalian khawatir akan berbuat tidak
adil, makamenikahlah seorang istri.
Posting Komentar