Ada seorang pembaca Majalah Aula yang mencari saya untuk memutuskan hukum seputar waris. Meskipun Nabi menyebut bahwa ilmu waris secara Islam adalah ilmu yang pertama dicabut namun bukan berarti tidak ada yang mengamalkan sama sekali:
ﻋﻦ ﺃﺑﻲ ﻫﺮﻳﺮﺓ ﻗﺎﻝ: ﻗﺎﻝ ﺭﺳﻮﻝ اﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ: «ﻳﺎ ﺃﺑﺎ ﻫﺮﻳﺮﺓ ﺗﻌﻠﻤﻮا اﻟﻔﺮاﺋﺾ ﻭﻋﻠﻤﻮﻫﺎ، ﻓﺈﻧﻪ ﻧﺼﻒ اﻟﻌﻠﻢ ﻭﻫﻮ ﻳﻨﺴﻰ، ﻭﻫﻮ ﺃﻭﻝ ﺷﻲء ﻳﻨﺰﻉ ﻣﻦ ﺃﻣﺘﻲ»
Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam bersabda: "Wahai Abu Hurairah. Belajarlah ilmu Faraid dan ajarkanlah. Faraid adalah separuh ilmu yang dilupakan. Faraid adalah ilmu yang pertama dicabut dari umatku" (HR Ibnu Majah)
Keluarga bapak ini datang kepada saya untuk mengetahui tata cara waris yang harus dibagikan kepada keluarganya. Alhamdulillah tadi saya ditemani para Asatidz Alumni Sidogiri yang lebih ahli di bidang harta waris untuk menyampaikan harta tersebut kepada para pemiliknya sesuai petunjuk Al-Qur'an:
ﻋﻦ اﺑﻦ ﻋﺒﺎﺱ، ﻗﺎﻝ: ﻗﺎﻝ ﺭﺳﻮﻝ اﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ: «اﻗﺴﻤﻮا اﻟﻤﺎﻝ ﺑﻴﻦ ﺃﻫﻞ اﻟﻔﺮاﺋﺾ ﻋﻠﻰ ﻛﺘﺎﺏ اﻟﻠﻪ، ﻓﻤﺎ ﺗﺮﻛﺖ اﻟﻔﺮاﺋﺾ ﻓﻸﻭﻟﻰ ﺭﺟﻞ ﺫﻛﺮ»
Dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam bersabda: "Bagikan harta ini diantara ahli waris sesuai dengan kitab Allah. Harta tinggalan adalah untuk lelaki terdekat" (HR Muslim)
Kekuatiran kamipun betul-betul terjadi, ada sesepuh keluarga yang menanyakan mengapa ada keponakan wanita tidak dapat bagian? Saya mencoba menjelaskan secara rasional bahwa di dalam Islam yang berkewajiban untuk kerja dan memberi nafkah adalah laki-laki, sehingga laki-laki yang diberi porsi lebih banyak, karena tugasnya lebih banyak dan bukan karena diskriminasi.
Dan kami memberi opsi akhir untuk dibagi secara sukarela setelah diketahui bagian masing-masing ahli waris, sebagaimana Fatwa ulama Al-Azhar:
ﺃﻥ الإﺧﻮﺓ ﻗﺪ ﺗﻨﺎﺯﻟﻮا ﻋﻦ ﻧﺼﻴﺒﻬﻢ ﻓﻰ اﻟﺘﺮﻛﺔ ﺑﻌﺪ اﺳﺘﺤﻘﺎﻗﻬﻢ ﻟﻪ ﻟﺒﻨﺖ ﺃﺧﻴﻬﻢ ﻭﻫﻮ ﺗﻨﺎﺯﻝ ﺟﺎﺋﺰ ﺷﺮﻋﺎ ﻓﻴﺆﻭﻝ ﻧﺼﻴﺒﻬﻢ اﻟﻴﻬﺎ ﻃﺒﻘﺎ ﻟﻬﺬا اﻟﺘﻨﺎﺯﻝ
Saudara-saudara laki-laki boleh memberi bagiannya setelah mereka menerima haknya kepada keponakan perempuan. Ini adalah tanazul (tidak mengambil hak secara penuh) yang diperbolehkan dalam Agama. Maka bagian mereka kembali kepada keponakannya (Fatawa Al-Azhar, 3/338)
Alhamdulillah para keluarga sama-sama legawa, suasana pun menjadi tenang, tidak setegang awal pertemuan. Saat itulah saya tanya kok masih berkenan menjalankan waris secara Islam? Ternyata salah satu dari orang tua mereka adalah santri Tebuireng dan menjumpai Hadratusy Syekh Hasyim Asy'ari hanya 2 bulan dan lebih banyak nyantri kepada KH Wahid Hasyim, ayahanda Gus Dur.
إرسال تعليق