Oleh: Gus Rijal Mumazziq Z., M.H.I
(Rektor Universitas Al-Falah Assuniyah - Kencong Jember Jawa Timur)
Beberapa tahun yang lalu, di Facebook, saya memiliki tiga teman yang sering melontarkan kritik terhadap dakwah yang dilakukan oleh orang-orang NU. Mereka menganggap bahwa dakwah Nahdliyin hanya sebatas nyanyian shalawat, diskusi yang melangit dan elitis, ceramah yang lucu-lucu, atau kegiatan tahlilan, yasinan, dan istighosah yang berulang-ulang.
Mereka tampaknya lupa, atau mungkin tidak tahu, bahwa jaringan pesantren NU secara konsisten mengirimkan guru-guru ke berbagai pelosok negeri, termasuk ke daerah-daerah terluar dan tertinggal. Para guru ini ditugaskan untuk merintis TPQ, majelis taklim, bahkan pondok pesantren. NU juga menyediakan beasiswa bagi calon santri dari daerah minus, menciptakan "arus balik" antara Jawa dan luar Jawa.
Awalnya, saya hanya diam membaca celotehan mereka di status Facebook maupun komentar-komentar di bawahnya. Namun, lama-kelamaan, salah satu dari mereka menjadi semakin keterlaluan, terutama ketika membandingkan dakwah NU dengan komunitas atau ormas lain yang mereka anggap lebih progresif.
Akhirnya, dalam sebuah status yang menyindir dakwah Nahdliyin, saya memutuskan untuk merespons melalui kolom komentar. Saya menyebutkan nama-nama jaringan pondok pesantren yang setiap bulan mengirimkan guru tugas ke pelosok-pelosok, juga jaringan NU di ranting-ranting luar Jawa yang secara konsisten menebarkan nilai-nilai Aswaja. Saya juga menyoroti kiprah dakwah Banser dan Ansor di Indonesia Timur.
Tidak lupa, saya menjelaskan program Dai Mahasiswa yang telah kami jalankan sejak 2018 di luar Jawa, di mana kami mengirimkan mahasiswa untuk berdakwah selama setahun penuh. Ya, setahun!
Ketika balasan yang saya terima justru berputar-putar tanpa arah, saya memutuskan untuk menggunakan strategi Cangkem Elek ala Gus Baha'. Saya katakan:
"Saya punya Rp 5 juta untuk mendukung dakwah di pelosok-pelosok luar Jawa. Nggak banyak nominalnya. Ini cuma awal. Nanti berkelanjutan. Panjenengan berani berapa urunan sama saya? Kita biayai dai-dai, dari komunitas anda, juga dari komunitas saya. Berani? Ini nomor WA saya 085-645-311-110. Saya tunggu koordinasinya untuk dakwah."
Sejak itu, tidak ada balasan, baik melalui status maupun WA. Status nyinyir tersebut dihapus, dan saya perhatikan, dia tidak lagi bersikap seperti sebelumnya. Dari tiga orang tersebut, dua meng-unfriend saya, sementara yang satu masih berteman, tetapi tidak lagi aktif mengkritik seperti dulu.
Apa yang bisa dipelajari dari pengalaman ini?
- Gunakan strategi Cangkem Elek!
- Tantang mereka untuk adu komitmen dengan tindakan nyata! Jika mereka benar-benar tulus, mereka pasti akan bersedia. Jika tidak, mungkin mereka hanya ahli dalam urusan berbicara saja
إرسال تعليق